Mohon tunggu...
Sony Budiarso
Sony Budiarso Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Menulis untuk melihat dunia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemda Soal Opini WTP: Keroyokan Barometer Semu

10 Mei 2020   22:58 Diperbarui: 11 Mei 2020   01:26 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Apa yang kita keluarkan, selesai. Anggarannya bersih secara administrative, tetapi outcome-nya, maksud saya output atau outcome-nya, atau dampak setelah itu belum kita ukur. Jika ingin outcome oriented, harus ada definisi dari outcome yang jelas, terukur, dan harus jelas itu apa. Ini merupakan inti setiap perencanaan”

Kiranya begitulah keresahan pada sistem pelaporan kinerja lembaga negara Indonesia yang disampaikan oleh Mantan Wakil Presiden Budiono dalam Pidato Rapat Rencana Kerja Pemerintah(RKP) dan Pagu Indikatif 2012 di Istana Bogor. Sistem Pelaporan Kinerja, atau Performance Measurements System(PMS), pertama kali dituangkan dalam penerbitan Surat Instruksi Presiden No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Pemerintah, dimana pemerintah wajib melaksanakan akuntabilitas kinerja instansi  sebagai wujud pertanggungjawaban instansi pemerintah dalam mencapai misi dan tujuan organisasi. Artinya, sampai detik ini, sudah 21 tahun PMS diterapkan di Indonesia.

Dalam 21 tahun penerapannya, Indonesia telah melaksanakan PMS dalam bentuk Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah(SAKIP) dan mewajibkan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP) seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 29 tahun 2014 dan UU No. 1 tahun 2004. Implementasi PMS sampai saat ini tentu masih menyisakan hitam dan abu-abu, terutama dalam implementasi pada pemerintahan daerah. Kurang jelasnya apa saja indikator yang dipakai dan terdapat kesulitan dalam menentukan, mendefinisikan, dan mengukur menyebabkan ada keterbatasan dan kompleksitas dalam penggunaan secara teknis, contohnya mengukur tentang hal-hal yang bersifat organisasional seperti komitmen, kapasitas Sumber Daya Manusia(SDM), dan sebagainya.

Masalah yang sedang terjadi perihal penerapan sistem PMS di Indonesia pernah dibahas dalam artikel Asian Journal of Accounting yang berjudul “Almost 20 Years of Performance Measurement System: Implementation in Indonesian Local Governments : Why is their performance still poor?” yang mengatakan bahwa meskipun telah diterapkan PMS, performance score pemerintah daerah di Indonesia sampai saat ini masih berada di angka yang lemah dan skala implementasinya belum mencapai tujuan peningkatan kinerja. Mengapa hal demikian bisa terjadi?

Jawabannya adalah karena sebagian besar penerapan PMS oleh Pemda umumnya didasari oleh adanya regulation pressure atau usaha untuk memenuhi ketaatan pada Pemerintah Pusat atau Kemendagri. Hal ini dikuatkan oleh riset Gudono(2014) yang mengatakan bahwa regulation pressure dapat menyebabkan Pemda menampilkan ketaatan yang palsu.

Akhirnya, motivasi pengukuran kinerja instansi pemerintah didominasi oleh keinginan Kepala Daerah dan stakeholder untuk mematuhi ketentuan pemerintah pusat, dan bukan untuk kepentingan akuntabilitas kepada publik. Hasilnya, Pemda akan berlebihan mendewakan opini Wajar Tanpa Pengecualian(WTP) Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia(BPK RI) sebagai the one and only, standar tercapainya kinerja kelembagaan pada tahun yang telah dilaksanakan. Euforia Pemda sangat tinggi apabila mendapat opini WTP dari BPK RI dan menganggap perolehan itu adalah sebuah prestasi yang amat membanggakan.

Oleh karenanya, saat ini Pemda banyak yang lebih sibuk memprioritaskan bagaimana “mempercantik” angka-angka dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah(LKPD) ketimbang menyusun laporan kinerja yang tertata secara matang dan optimal. 

Perlu penegasan kepada seluruh stakeholder khususnya masyarakat, bahwa sebenarnya opini WTP hanyalah syarat administratif untuk akuntabilitas finansial kelayakan LKPD, bukan mewakili performa yang luar biasa dari Pemda. Hal ini diperburuk lagi karena pemerintah daerah menganggap opini WTP sebagai salah satu barometer keberhasilan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Tak heran apabila pemerintah daerah berlomba-lomba meraih opini WTP dari BPK sebagai isu positif yang bisa dijual kepada masyarakat. Padahal, masyarakat perlu tahu bahwa perolehan opini WTP jika diibaratkan mata kuliah, adalah nilai “C” atau standar minimum untuk memperoleh kelulusan.

Selain itu, perolehan opini WTP ternyata juga tidak menjamin sedikitpun pemerintah daerah terbebas dari korupsi. Di beberapa daerah yang memperoleh opini WTP, justru pejabatnya malah banyak yang tersandung kasus korupsi. Isu positif yang dijual menyebabkan kasus korupsi pada Pemda yang berpredikat WTP akhirnya menggerus kepercayaan masyarakat kepada BPK.

Tak sedikit yang berprasangka bahwa opini BPK tak lagi bersih karena WTP bisa diperjualbelikan. Disini masyarakat tidak bersalah, sebab masyarakat sendiri tidak mendapat penjelasan yang benar mengenai opini WTP BPK. Masyarakat menyangka, jika pemda memperoleh WTP pasti bersih dan tidak ada korupsi. Jika ada kasus korupsi, maka BPK dan auditornya pasti yang salah.

Padahal, pandangan itu dilihat dari sudut ilmu audit tidak tepat, sebab audit memiliki keterbatasan-keterbatasan, seperti keterbatasan dalam pengambilan sampel audit karena tidak semua transaksi diperiksa. Maka dari itu, perlu dipertegas bahwa opini WTP bukan dimaksudkan untuk menjamin tidak ada korupsi, akan tetapi hanya merupakan penilaian atas kewajaran laporan keuangan yang dihasilkan dari pemeriksaan keuangan.

Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa selama 22 tahun ini kinerja pemerintah daerah kita ya bisa dibilang gitu-gitu saja. Fakta ini dikuatkan dengan laporan Kementerian PANRB tahun 2016 yang menunjukkan bahwa 16 dari 34 pemerintah provinsi di Indonesia mendapat performance score yang buruk yaitu CC dan bahkan salah satunya mendapat D, kemudian sisanya mendapat nilai B dan BB, serta dua provinsi lainnya mendapat nilai A.

Kemudian di tingkat kabupaten/kota lebih memprihatinkan, karena sekitar 83% dari 415 Pemkot/Pemkab juga menunjukkan performance score yang buruk, yaitu CC, C, dan D. Pertanyaannya, digunakan untuk kegiatan apa saja APBD dari rakyat sampai performance score-nya merujuk pada angka demikian?

Angka ini merepresentasikan bahwa sudah saatnya pemerintah daerah mulai berbenah, berani beres-beres, diawali dengan meluruskan mindset mengenai WTP, lalu melakukan restrukturisasi budaya kerja yang kurang efektif, dan fokus pada perbaikan kinerja.

Jangan sampai hanya fokus membuat laporan yang "hijau" akan tetapi waktu dievaluasi kinerja anggarannya, pelayanannya tidak meningkat, terdapat banyak komplain dari masyarakat, serta belanja-belanja dan kegiatannya banyak yang tidak fokus pada sasaran. Harus disusun sedari awal tujuan organisasi dan sasaran stategisnya agar inti kegiatannya tidak kemana-mana. Sehingga nanti akan terjadi link and match antara perencanaan dan eksekusi di lapangan.

Solusi untuk mewujudkan hal ini dimulai dari menyusun ulang model penganggaran Pemda yang bertransformasi ke arah value for money. Setiap rupiah yang dibelanjakan Pemda harus menghasilkan output yang berorientasi pada layanan atau menghasilkan income dan tidak boleh ada setiap rupiah pun yang dibelanjakan dengan sia-sia. Kedua, orientasi belanja harus mengacu pada kepentingan publik. Harus ada pengendalian belanja rutin yang menyebabkan pembengkakan terhadap anggaran seperti belanja birokrasi, belanja dinas, rapat, sewa, supplies kantor, dan sebagainya.

Yang terakhir, perlu adanya integrasi sistem informasi akuntansi untuk implementasi SAKIP, LAKIP, dan anggaran berbasis kinerja. Dalam hal ini, perlu pengembangan PMS yang lebih komprehensif, misalnya menggunakan logic model yang fokus pada isu-isu strategis Pemda.

Sebabnya, apabila mengawali dari isu strategis, dari awal sejak memulai yang dipikirkan adalah hasil akhir, bukan hasil awal. Nantinya, kerja akan lebih memberikan hasil berupa kinerja yang optimal. Oleh karena pengukuran kerja adalah result bukan activity, maka yang diukur adalah kinerjanya, bukan WTP-nya. Maka, mulai dari sekarang pemerintah daerah diharapkan lebih fokus untuk membuat anggaran berbasis kinerja yang matang dengan menyusun prioritas dan isu-isu strategis daerah terlebih dahulu, kemudian lanjut untuk membuat kegiatan dan merencanakan anggaran-anggarannya.

Jika hal ini diterapkan, akan ada efisiensi kerja yang optimal dari pemda, karena bedasarkan data dari Kementerian PANRB tahun 2018, dengan anggaran berbasis kinerja saja di tahun 2018, 25 provinsi di Indonesia sudah bisa melakukan efisiensi anggaran sampai dengan 35 Triliun. Kemudian, 217 dari 510 kabupaten/kota sudah melakukan efisiensi anggaran hingga 30 Trilliun, dari hasil eliminasi kegiatan-kegiatan yang fokus pada prioritas pembangunannya.

Keterbatasan APBD harusnya membuat pemerintah daerah sadar dan mengontrol belanja yang berkualitas, bukan spending more, akan tetapi spending better. Dengan uang atau APBD yang sama bagaimana pemerintah daerah bisa memenuhi kebutuhan daerahnya dan menghasilkan output yang lebih banyak dengan menerapkan efisiensi. Efisiensi juga harus diterapkan pada kegiatan belanja.

Belanja harus diatur agar sesuai kebutuhan. Jika kebutuhan daerah pada tahun yang akan berjalan adalah human development, maka Pemda harus mengalokasikan dana ke human development, bukan menggelontorkan ke sektor yang lain. Efisiensi ini akan efektif berjalan apabila terdapat sinergi antara akademisi dan pemerintah untuk menjembatani pemecahan masalah tersebut, yaitu dengan melakukan kolaborasi riset untuk mengawal kebijakan-kebijakan agar memberikan outcome yang diharapkan.

Berbagai riset telah menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan pemerintah daerah kita masih punya sekelumit masalah, khususnya pada mindset dan pembangunan kualitas layanan publik yang belum berorientasi pada hasil. Ditambah lagi, masih banyak Pemda yang bermasalah dengan akuntabilitas publik, yang mindset-nya hanya fokus bekerja keras untuk meraih opini WTP.

Ini yang menyebabkan sampai saat ini, meski performa audit sudah dijalankan, akan tetapi sistem kinerjanya belum bisa dikatakan optimal. Akuntabilitas kinerja kita juga masih berada di titik yang rendah, sebab kurang ada keterbukaan terkait informasi keuangan dan kinerjanya.

Padahal, seharusnya Indonesia ini negara demokrasi, pemimpin atau principle-nya dalam hal ini adalah rakyat. Rakyatlah yang memilih wakil rakyat, bupati, presiden, gubernur, untuk menjadi pelaksana atau disebut agent. Seharusnya, orang yang dipilih(agent) wajib melaksanakan akuntabilitas secara baik ke principal. Bukan malah memanipulasi isu positif dan fokus pada pencitraan media semata.

Oleh karenanya, menjadi tugas kita bersama untuk kritis, mencegah praktik perburuan opini WTP yang menghalalkan segala cara. Apalah gunanya akuntabilitas publik diterapkan apabila hanya menyajikan opini WTP yang sebenarnya itu ialah barometer palsu yang dibuat untuk meningkatkan gengsi dan pamor para pejabat publik dalam menjalankan amanah lima tahunannya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun