Belanja harus diatur agar sesuai kebutuhan. Jika kebutuhan daerah pada tahun yang akan berjalan adalah human development, maka Pemda harus mengalokasikan dana ke human development, bukan menggelontorkan ke sektor yang lain. Efisiensi ini akan efektif berjalan apabila terdapat sinergi antara akademisi dan pemerintah untuk menjembatani pemecahan masalah tersebut, yaitu dengan melakukan kolaborasi riset untuk mengawal kebijakan-kebijakan agar memberikan outcome yang diharapkan.
Berbagai riset telah menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan pemerintah daerah kita masih punya sekelumit masalah, khususnya pada mindset dan pembangunan kualitas layanan publik yang belum berorientasi pada hasil. Ditambah lagi, masih banyak Pemda yang bermasalah dengan akuntabilitas publik, yang mindset-nya hanya fokus bekerja keras untuk meraih opini WTP.
Ini yang menyebabkan sampai saat ini, meski performa audit sudah dijalankan, akan tetapi sistem kinerjanya belum bisa dikatakan optimal. Akuntabilitas kinerja kita juga masih berada di titik yang rendah, sebab kurang ada keterbukaan terkait informasi keuangan dan kinerjanya.
Padahal, seharusnya Indonesia ini negara demokrasi, pemimpin atau principle-nya dalam hal ini adalah rakyat. Rakyatlah yang memilih wakil rakyat, bupati, presiden, gubernur, untuk menjadi pelaksana atau disebut agent. Seharusnya, orang yang dipilih(agent) wajib melaksanakan akuntabilitas secara baik ke principal. Bukan malah memanipulasi isu positif dan fokus pada pencitraan media semata.
Oleh karenanya, menjadi tugas kita bersama untuk kritis, mencegah praktik perburuan opini WTP yang menghalalkan segala cara. Apalah gunanya akuntabilitas publik diterapkan apabila hanya menyajikan opini WTP yang sebenarnya itu ialah barometer palsu yang dibuat untuk meningkatkan gengsi dan pamor para pejabat publik dalam menjalankan amanah lima tahunannya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H