Mohon tunggu...
Sony Budiarso
Sony Budiarso Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Menulis untuk melihat dunia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemda Soal Opini WTP: Keroyokan Barometer Semu

10 Mei 2020   22:58 Diperbarui: 11 Mei 2020   01:26 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak sedikit yang berprasangka bahwa opini BPK tak lagi bersih karena WTP bisa diperjualbelikan. Disini masyarakat tidak bersalah, sebab masyarakat sendiri tidak mendapat penjelasan yang benar mengenai opini WTP BPK. Masyarakat menyangka, jika pemda memperoleh WTP pasti bersih dan tidak ada korupsi. Jika ada kasus korupsi, maka BPK dan auditornya pasti yang salah.

Padahal, pandangan itu dilihat dari sudut ilmu audit tidak tepat, sebab audit memiliki keterbatasan-keterbatasan, seperti keterbatasan dalam pengambilan sampel audit karena tidak semua transaksi diperiksa. Maka dari itu, perlu dipertegas bahwa opini WTP bukan dimaksudkan untuk menjamin tidak ada korupsi, akan tetapi hanya merupakan penilaian atas kewajaran laporan keuangan yang dihasilkan dari pemeriksaan keuangan.

Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa selama 22 tahun ini kinerja pemerintah daerah kita ya bisa dibilang gitu-gitu saja. Fakta ini dikuatkan dengan laporan Kementerian PANRB tahun 2016 yang menunjukkan bahwa 16 dari 34 pemerintah provinsi di Indonesia mendapat performance score yang buruk yaitu CC dan bahkan salah satunya mendapat D, kemudian sisanya mendapat nilai B dan BB, serta dua provinsi lainnya mendapat nilai A.

Kemudian di tingkat kabupaten/kota lebih memprihatinkan, karena sekitar 83% dari 415 Pemkot/Pemkab juga menunjukkan performance score yang buruk, yaitu CC, C, dan D. Pertanyaannya, digunakan untuk kegiatan apa saja APBD dari rakyat sampai performance score-nya merujuk pada angka demikian?

Angka ini merepresentasikan bahwa sudah saatnya pemerintah daerah mulai berbenah, berani beres-beres, diawali dengan meluruskan mindset mengenai WTP, lalu melakukan restrukturisasi budaya kerja yang kurang efektif, dan fokus pada perbaikan kinerja.

Jangan sampai hanya fokus membuat laporan yang "hijau" akan tetapi waktu dievaluasi kinerja anggarannya, pelayanannya tidak meningkat, terdapat banyak komplain dari masyarakat, serta belanja-belanja dan kegiatannya banyak yang tidak fokus pada sasaran. Harus disusun sedari awal tujuan organisasi dan sasaran stategisnya agar inti kegiatannya tidak kemana-mana. Sehingga nanti akan terjadi link and match antara perencanaan dan eksekusi di lapangan.

Solusi untuk mewujudkan hal ini dimulai dari menyusun ulang model penganggaran Pemda yang bertransformasi ke arah value for money. Setiap rupiah yang dibelanjakan Pemda harus menghasilkan output yang berorientasi pada layanan atau menghasilkan income dan tidak boleh ada setiap rupiah pun yang dibelanjakan dengan sia-sia. Kedua, orientasi belanja harus mengacu pada kepentingan publik. Harus ada pengendalian belanja rutin yang menyebabkan pembengkakan terhadap anggaran seperti belanja birokrasi, belanja dinas, rapat, sewa, supplies kantor, dan sebagainya.

Yang terakhir, perlu adanya integrasi sistem informasi akuntansi untuk implementasi SAKIP, LAKIP, dan anggaran berbasis kinerja. Dalam hal ini, perlu pengembangan PMS yang lebih komprehensif, misalnya menggunakan logic model yang fokus pada isu-isu strategis Pemda.

Sebabnya, apabila mengawali dari isu strategis, dari awal sejak memulai yang dipikirkan adalah hasil akhir, bukan hasil awal. Nantinya, kerja akan lebih memberikan hasil berupa kinerja yang optimal. Oleh karena pengukuran kerja adalah result bukan activity, maka yang diukur adalah kinerjanya, bukan WTP-nya. Maka, mulai dari sekarang pemerintah daerah diharapkan lebih fokus untuk membuat anggaran berbasis kinerja yang matang dengan menyusun prioritas dan isu-isu strategis daerah terlebih dahulu, kemudian lanjut untuk membuat kegiatan dan merencanakan anggaran-anggarannya.

Jika hal ini diterapkan, akan ada efisiensi kerja yang optimal dari pemda, karena bedasarkan data dari Kementerian PANRB tahun 2018, dengan anggaran berbasis kinerja saja di tahun 2018, 25 provinsi di Indonesia sudah bisa melakukan efisiensi anggaran sampai dengan 35 Triliun. Kemudian, 217 dari 510 kabupaten/kota sudah melakukan efisiensi anggaran hingga 30 Trilliun, dari hasil eliminasi kegiatan-kegiatan yang fokus pada prioritas pembangunannya.

Keterbatasan APBD harusnya membuat pemerintah daerah sadar dan mengontrol belanja yang berkualitas, bukan spending more, akan tetapi spending better. Dengan uang atau APBD yang sama bagaimana pemerintah daerah bisa memenuhi kebutuhan daerahnya dan menghasilkan output yang lebih banyak dengan menerapkan efisiensi. Efisiensi juga harus diterapkan pada kegiatan belanja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun