Sebelumnya, penjelasan singkat mengenai proses penambangan sudah diterima oleh awak media tersebut sambil menghayati pemandangan lubang tambang yang cukup membuat takjub. Juga penjelasan mengenai reklamasi dan pengelolaan lingkungan termasuk angka-angka dalam rupiah maupun dollar yang dihabiskan untuk reklamasi dan pengelolaan lingkungan.
Sebuah pertanyaan sederhana yang mengejutkan saya saat itu. Cukup sulit sepertinya mencari jawaban logis yang bisa memuaskan sang penanya. Mungkin bukan hal yang lazim ketika sebuah perusahaan tambang melakukan reklamasi dan pengelolaan lingkungan di atas standar yang ditentukan, yang tentu saja berefek pada anggaran biaya yang harus disediakan. Walaupun sebenarnya, memang itulah yang seharusnya dilakukan oleh semua pelaku pertambangan.
Ketidaklaziman yang menjadi anomaly di tengah kondisi di mana sebagian besar tambang di Indonesia, atau bahkan mungkin dunia, lebih menempatkan nilai keuntungan dalam porsi paling besar dengan menomorduakan dampak lingkungan. Bahkan, kalau boleh memakai kalimat bernada sarkastis, banyak perusahaan yang hanya memikirkan bagaimana mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya, termasuk salah satunya dengan mengurangi biaya yang seharusnya dipakai untuk reklamasi dan pengelolaan lingkungan. Keuntungan yang diraih dengan meninggalkan kerusakan dan kebinasaan.
Miris rasanya ketika melihat gambar lubang-lubang menganga terisi air berwarna keruh yang diakibatkan penambangan liar dan tidak bertanggung jawab di Pulau Bangka. Belum lagi bekas-bekas tambang batu bara di Kalimantan yang ditinggalkan begitu saja dengan reklamasi ala kadarnya tanpa ada proses perbaikan lanjut yang diupayakan untuk mengembalikan fungsi lingkungan sesuai peruntukannya. Meskipun, secara prinsip ekonomi yang diajarkan dalam pendidikan formal, tidak ada yang salah: mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Hanya saja, ada satu hal yang terlupakan: moral. Nah, dampak dari moral yang terlupakan inilah yang sekarang lekat dalam ingatan orang tentang dunia tambang.
Kembali pada pertanyaan di atas. Pertama mengenai reklamasi dan pengelolaan lingkungan. Reklamasi tambang menurut Peraturan Menteri ESDM no. 18 tahun 2008 adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Reklamasi tambang merupakan kewajiban perusahaan setelah atau selama melakukan eksploitasi bahan tambang yang mengakibatkan terganggunya fungsi lingkungan. Bisa dikatakan, reklamasi merupakan bagian tak terpisahkan dalam suatu siklus pertambangan yang baik. Peraturan Menteri tersebut juga menjelaskan mengenai upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan yang diterangkan sebagai upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab usaha.
Lalu, mengapa harus melebihi standar yang diatur dalam regulasi pemerintah? Hal ini memang tak lepas dari visi dan misi perusahaan yang ingin menjadi perusahaan tambang yang paling dihargai dan dihormati melalui pencapaian kinerja terdepan dalam industri tambang, termasuk di dalamnya aspek pengelolaan lingkungan tentu saja. Visi dan misi yang memang seharusnya menjadi standar yang dimiliki semua perusahaan tambang: menempatkan pengelolaan lingkungan sebagai salah satu fokus.
Untuk menjadi “yang paling”, pastinya tidak bisa dicapai dengan melakukan sesuatu yang biasa saja. Karena melakukan sesuatu yang biasa hanya akan menghasilkan sesuatu yang biasa juga. Sesuatu yang biasa dilakukan hanya untuk memenuhi kewajiban dan menghindarkan perusahaan dari hukuman dan denda. Sedangkan untuk menjadi “yang paling”, maka apa yang dilakukan pun harus tidak biasa. Dengan kata lain, untuk menjadi “yang paling” harus mau melakukan hal-hal yang luar biasa. Hal itu berlaku juga dalam hal reklamasi dan pengelolaan lingkungan.
Sebagai contoh, perusahaan menghabiskan sekitar Rp1,3 milyar untuk menyiapkan 1 hektar lahan reklamasi yang meliputi biaya untuk pembentukan lereng akhir timbunan, penyebaran lapisan tanah penutup dan pemadatannya di luar biaya penanaman tumbuhan di lahan reklamasi. Lereng akhir timbunan dibentuk dengan kemiringan 2H:1V yang artinya kemiringan lereng dengan perbandingan 2 jarak horizontal dan 1 jarak vertikal untuk menjamin stabilitas timbunan sesuai kajian geoteknik. Kemudian setelah lereng akhir timbunan terbentuk, lapisan tanah penutup dengan ketebalan 2,75 m ditebarkan dengan pemadatan setiap ketebalan 0,5 m. Semua itu dilakukan untuk mengurangi potensi kegagalan dan memastikan keberhasilan reklamasi di daerah timbunan, baik di tahun-tahun awal reklamasi maupun tahun-tahun mendatang pascatambang, meskipun hal tersebut tidak diatur secara spesifik dalam regulasi pemerintah. Dengan luas reklamasi lebih dari 20 hektar per tahun, bisa dihitung jumlah dana yang dikeluarkan untuk mempersiapan lahan reklamasi setiap tahunnya.
Contoh lain adalah pada proses penanaman pohon di atas lahan reklamasi. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia no. 60 tahun 2009 disebutkan bahwa kriteria keberhasilan reklamasi adalah 625 pohon per hektar. Sementara pada saat itu, jumlah pohon yang ditanam adalah 1600 pohon per hektar. Lebay? Tidak juga. Karena hal itu dilakukan untuk menjamin tingkat keberhasilan reklamasi, meskipun akibatnya ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk penanaman maupun perawatannya.
Sehingga muncul pertanyaan ke dua: apa yang diharapkan dari menginvestasikan jutaan dollar yang tidak memberikan keuntungan ekonomi secara langsung?
Jawaban yang mungkin bisa mewakili adalah: reputasi. Memang uang yang dikeluarkan untuk reklamasi dan pengelolaan lingkungan tidak akan memberikan keuntungan material maupun finansial secara langsung. Akan tetapi, dengan melakukan reklamasi dan pengelolaan lingkungan yang baik, selain menjaga kelestarian lingkungan, berarti perusahaan telah membangun dan menjaga nama baik yang berarti juga membangun dan menjaga kepercayaan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan industri tambang, salah satunya adalah konsumen.