Tambang dan pertambangan. Seperti biasa adalah kata sensitif yang sangat menarik untuk dibahas dari sisi negatif dan kontroversialnya. Pencemaran, kerusakan lingkungan, kesenjangan masyarakat dan sebagainya.
Bukan untuk pembelaan diri atau pembelaan terhadap institusi tempat mencari sesuap nasi, saya hanya berusaha menceritakan dunia tambang dari sisi positif. Dari sisi yang dilupakan orang meskipun sebenarnya sisi itu masih ada. Dari sisi seharusnya tambang dijalankan dan dipandang.
Ilmu tambang mungkin termasuk salah satu ilmu tertua yang dikuasai manusia. Sejak zaman batu ketika manusia mulai berpikir untuk memanfaatkan apa yang tersedia di alam untuk membantu kehidupannya, saat itulah teknologi sederhana mengenai tambang mulai dikenal. Walaupun bisa jadi jauh sebelum itu pun bibit-bibit keilmuan tambang sudah mulai dikenal. Bahkan saking tuanya teknologi tambang, ada yang menganggap teknologi tambang adalah teknologi kampungan. Teknologi yang dari dulu sampai sekarang ‘ya begitu begitu saja’. Logis mungkin bagi yang menganggapnya demikian. Tapi kok saya agak sulit menemukan korelasi antara tua dan kampungan. Mohon maaf untuk keterbatasan daya nalar saya.
Ilmu tambang, sebagaimana ilmu terapan yang lain, merupakan gabungan dari ilmu pengetahuan murni maupun bidang ilmu terapan lain. Menurut sebuah pendapat, ilmu pengetahuan murni berfokus kepada teori yang ditujukan untuk menemukan pengetahuan baru. Sedangkan ilmu pengetahuan terapan menempatkan teori-teori ke dalam praktek dengan tujuan mencari solusi dari sebuah masalah. Untuk ilmu tambang, banyak teori yang diadopsi, diantaranya teori mekanika, fisika, kimia bahkan sampai pengetahuan tentang lingkungan hidup. Khusus mengenai lingkungan hidup, ‘fitrah’-nya hal ini merupakan bagian tak terpisahkan dari praktek penambangan yang baik atau bahasa populernya good mining practice.
Dan sebagaimana bidang keilmuan yang lain, ilmu dan teknologi tambang juga berkembang dari waktu ke waktu. Kalau dulu manusia memecah batu dengan baji dan palu, sekarang sudah ada bahan peledak dan teknologi peledakan yang bisa memecah 1 juta ton batu sekali waktu. Kalau dulu manusia menggali batu dengan sekop dan beliung, sekarang sudah ada electric shovel dengan kemampuan 80 ton sekali keruk. Kalau dulu manusia mengangkut batuan tambang dengan karung dan gerobak, sekarang sudah ada haul truck dengan kapasitas 300 ton sekali angkut. Dan banyak lagi yang lainnya. Ah, tetep aja kampungan. Cuma beda ukuran aja. Ah, biarin aja lah…
Saya yakin, tambang dan ilmu tambang ada ditujukan untuk kebaikan dan kesejahteraan manusia. Keserakahan para pelaku pertambangan yang menempatkan keuntungan finansial di atas kelestarian lingkunganlah yang membuat tujuan mulia itu kian hari kian samar. Yang tersisa: stigma negatif tambang yang merusak.
Lalu apakah masih ada praktek penambangan yang bisa mematahkan stigma negatif tambang yang merusak? Optimisme mengajarkan kepada saya untuk selalu percaya bahwa masih ada hal baik yang terjadi di dunia ini.
Sedikit berbagi pengalaman tentang salah satu praktek tambang yang, menurut saya, cukup baik di tempat saya pernah bekerja. Mudah-mudahan saya bisa menyampaikan secara objektif meskipun saya adalah subjek yang menjadi pelaku.
Beberapa tahun lalu saya ketiban berkah menemani beberapa awak media pada suatu kesempatan ketika mereka mengunjungi daerah reklamasi di lokasi perusahaan tambang yang menjadi tempat saya mengaplikasikan ilmu yang saya dapat setelah menempuh 150 SKS di sebuah tempat pendidikan. Ilmu dan teknologi yang belakangan baru saya tahu ternyata hanya ilmu dan teknologi ‘kampungan’. Hehehe…
Reklamasi yang ternyata menurut mereka melebihi ekspektasi mereka tentang reklamasi sebuah tambang. Sehingga muncul beberapa pertanyaan.
“Mengapa perusahaan mau menghabiskan begitu banyak uang untuk melakukan kegiatan reklamasi dan pengelolaan lingkungan yang melebihi standar regulasi? Apa yang diharapkan dari menginvestasikan jutaan dollar yang tidak memberikan keuntungan ekonomi secara langsung?”
Sebelumnya, penjelasan singkat mengenai proses penambangan sudah diterima oleh awak media tersebut sambil menghayati pemandangan lubang tambang yang cukup membuat takjub. Juga penjelasan mengenai reklamasi dan pengelolaan lingkungan termasuk angka-angka dalam rupiah maupun dollar yang dihabiskan untuk reklamasi dan pengelolaan lingkungan.
Sebuah pertanyaan sederhana yang mengejutkan saya saat itu. Cukup sulit sepertinya mencari jawaban logis yang bisa memuaskan sang penanya. Mungkin bukan hal yang lazim ketika sebuah perusahaan tambang melakukan reklamasi dan pengelolaan lingkungan di atas standar yang ditentukan, yang tentu saja berefek pada anggaran biaya yang harus disediakan. Walaupun sebenarnya, memang itulah yang seharusnya dilakukan oleh semua pelaku pertambangan.
Ketidaklaziman yang menjadi anomaly di tengah kondisi di mana sebagian besar tambang di Indonesia, atau bahkan mungkin dunia, lebih menempatkan nilai keuntungan dalam porsi paling besar dengan menomorduakan dampak lingkungan. Bahkan, kalau boleh memakai kalimat bernada sarkastis, banyak perusahaan yang hanya memikirkan bagaimana mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya, termasuk salah satunya dengan mengurangi biaya yang seharusnya dipakai untuk reklamasi dan pengelolaan lingkungan. Keuntungan yang diraih dengan meninggalkan kerusakan dan kebinasaan.
Miris rasanya ketika melihat gambar lubang-lubang menganga terisi air berwarna keruh yang diakibatkan penambangan liar dan tidak bertanggung jawab di Pulau Bangka. Belum lagi bekas-bekas tambang batu bara di Kalimantan yang ditinggalkan begitu saja dengan reklamasi ala kadarnya tanpa ada proses perbaikan lanjut yang diupayakan untuk mengembalikan fungsi lingkungan sesuai peruntukannya. Meskipun, secara prinsip ekonomi yang diajarkan dalam pendidikan formal, tidak ada yang salah: mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Hanya saja, ada satu hal yang terlupakan: moral. Nah, dampak dari moral yang terlupakan inilah yang sekarang lekat dalam ingatan orang tentang dunia tambang.
Kembali pada pertanyaan di atas. Pertama mengenai reklamasi dan pengelolaan lingkungan. Reklamasi tambang menurut Peraturan Menteri ESDM no. 18 tahun 2008 adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Reklamasi tambang merupakan kewajiban perusahaan setelah atau selama melakukan eksploitasi bahan tambang yang mengakibatkan terganggunya fungsi lingkungan. Bisa dikatakan, reklamasi merupakan bagian tak terpisahkan dalam suatu siklus pertambangan yang baik. Peraturan Menteri tersebut juga menjelaskan mengenai upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan yang diterangkan sebagai upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab usaha.
Lalu, mengapa harus melebihi standar yang diatur dalam regulasi pemerintah? Hal ini memang tak lepas dari visi dan misi perusahaan yang ingin menjadi perusahaan tambang yang paling dihargai dan dihormati melalui pencapaian kinerja terdepan dalam industri tambang, termasuk di dalamnya aspek pengelolaan lingkungan tentu saja. Visi dan misi yang memang seharusnya menjadi standar yang dimiliki semua perusahaan tambang: menempatkan pengelolaan lingkungan sebagai salah satu fokus.
Untuk menjadi “yang paling”, pastinya tidak bisa dicapai dengan melakukan sesuatu yang biasa saja. Karena melakukan sesuatu yang biasa hanya akan menghasilkan sesuatu yang biasa juga. Sesuatu yang biasa dilakukan hanya untuk memenuhi kewajiban dan menghindarkan perusahaan dari hukuman dan denda. Sedangkan untuk menjadi “yang paling”, maka apa yang dilakukan pun harus tidak biasa. Dengan kata lain, untuk menjadi “yang paling” harus mau melakukan hal-hal yang luar biasa. Hal itu berlaku juga dalam hal reklamasi dan pengelolaan lingkungan.
Sebagai contoh, perusahaan menghabiskan sekitar Rp1,3 milyar untuk menyiapkan 1 hektar lahan reklamasi yang meliputi biaya untuk pembentukan lereng akhir timbunan, penyebaran lapisan tanah penutup dan pemadatannya di luar biaya penanaman tumbuhan di lahan reklamasi. Lereng akhir timbunan dibentuk dengan kemiringan 2H:1V yang artinya kemiringan lereng dengan perbandingan 2 jarak horizontal dan 1 jarak vertikal untuk menjamin stabilitas timbunan sesuai kajian geoteknik. Kemudian setelah lereng akhir timbunan terbentuk, lapisan tanah penutup dengan ketebalan 2,75 m ditebarkan dengan pemadatan setiap ketebalan 0,5 m. Semua itu dilakukan untuk mengurangi potensi kegagalan dan memastikan keberhasilan reklamasi di daerah timbunan, baik di tahun-tahun awal reklamasi maupun tahun-tahun mendatang pascatambang, meskipun hal tersebut tidak diatur secara spesifik dalam regulasi pemerintah. Dengan luas reklamasi lebih dari 20 hektar per tahun, bisa dihitung jumlah dana yang dikeluarkan untuk mempersiapan lahan reklamasi setiap tahunnya.
Contoh lain adalah pada proses penanaman pohon di atas lahan reklamasi. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia no. 60 tahun 2009 disebutkan bahwa kriteria keberhasilan reklamasi adalah 625 pohon per hektar. Sementara pada saat itu, jumlah pohon yang ditanam adalah 1600 pohon per hektar. Lebay? Tidak juga. Karena hal itu dilakukan untuk menjamin tingkat keberhasilan reklamasi, meskipun akibatnya ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk penanaman maupun perawatannya.
Sehingga muncul pertanyaan ke dua: apa yang diharapkan dari menginvestasikan jutaan dollar yang tidak memberikan keuntungan ekonomi secara langsung?
Jawaban yang mungkin bisa mewakili adalah: reputasi. Memang uang yang dikeluarkan untuk reklamasi dan pengelolaan lingkungan tidak akan memberikan keuntungan material maupun finansial secara langsung. Akan tetapi, dengan melakukan reklamasi dan pengelolaan lingkungan yang baik, selain menjaga kelestarian lingkungan, berarti perusahaan telah membangun dan menjaga nama baik yang berarti juga membangun dan menjaga kepercayaan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan industri tambang, salah satunya adalah konsumen.
Saat ini, konsumen dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan produk tambang tidak hanya melihat produk tambang hanya sebatas komoditas saja, tetapi mereka sudah mulai melihat bagaimana produk tambang itu dihasilkan. Apakah proses produksi tambang dilakukan dengan memperhatikan keselamatan kerja, tanggung jawab sosial maupun pengelolaan lingkungan? Ataukah justru proses produksi tambang dilakukan dengan mengorbankan masyarakat dan lingkungan sekitar? Dengan kalimat lain: apakah produk tambang dihasilkan dari proses penambangan yang baik? Wah, ternyata suatu produk tambang bisa banyak bercerita.
Tentu kita tidak ingin memiliki sesuatu yang dihasilkan dari proses yang tidak benar dan tidak masuiawi. Proses yang dilakukan dengan mengorbankan hal-hal yang seharusnya dijaga. Bagi yang pernah menyaksikan, kisah dalam film “Blood Diamond” mungkin cukup menjadi analogi. Bagaimana sebutir berlian dihasilkan dengan mengorbankan bukan hanya lingkungan hidup tetapi nyawa manusia. Bagaimana sebutir berlian yang diambil meninggalkan penderitaan berkepanjangan bagi orang-orang di sekitarnya. Bagaimana berlian yang seharusnya dikagumi karena keindahannya justru menjadi pengingat memori berdarah di bumi Afrika. Berlian yang indah menjadi berlian berdarah.
Beberapa waktu terakhir, mulai dikenal istilah “produk hijau”. Hijau di sini tentu tidak merujuk pada warna hijau secara harfiah. Tetapi kata hijau di sini lebih untuk menggambarkan suatu produk yang berwawasan lingkungan, baik material produk itu sendiri maupun proses produksinya.
Untuk sebuah perusahaan tambang, tak ada salahnya memakai istilah “emas hijau” untuk mewakili produk yang dihasilkannya, mengingat emas adalah suatu bahan yang dikenal luas dari masa ke masa dan memiliki nilai estetika, meskipun sebenarnya hasil tambang bukan hanya emas tetapi tembaga, timah atau mineral lainnya. Emas hijau bisa diartikan sebagai emas yang dihasilkan dengan proses yang memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup, bukan hanya sekedar memenuhi kewajiban perusahaan terhadap negara tetapi melampaui standar sehingga bisa menjadi bench marking bagi perusahaan tambang dalam hal pengelolaan lingkungan dan memenuhi tanggung jawab terhadap generasi yang akan datang.
Maka, dengan terjaganya nama baik perusahaan melalui usaha-usaha yang melebihi standar minimal yang ditetapkan, keuntungan jangka panjang akan diraih. Eksistensi perusahaan sebagai perusahaan yang menerapkan proses produksi ramah lingkungan akan lebih diakui sehingga pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan akan lebih mudah menerima keberadaan perusahaan.
Selain keuntungan bagi perusahaan, tentu ada kebanggaan bagi karyawan yang bekerja di dalamnya. Akan menjadi beban moral tersendiri ketika seseorang bekerja di sebuah perusahaan tambang yang hanya mementingkan keuntungan finansial dengan mengorbankan pengelolaan lingkungan. Berbeda halnya dengan seseorang yang bekerja di perusahaan yang menempatkan aspek pengelolaan lingkungan sebagai sesuatu yang ada dalam fokus mereka. Ketika banyak pihak di luar tambang yang menyudutkan posisi perusahaan tambang sebagai golongan yang merusak lingkungan, dengan kepala tegak mereka bisa berkata dengan percaya diri: “Tidak. Kami berproduksi dengan bertanggung jawab.” Dan memang seperti itulah seharusnya.
Tentu bukan hal mudah bersaing dalam pasar yang sama dengan mereka yang berproduksi dengan biaya reklamasi dan pengelolaan lingkungan yang diberi ruang untuk ditekan. Dengan harga jual dan biaya produksi yang tidak memberi margin lebih bagi perusahaan berwawasan lingkungan, tentu ada harga tersendiri yang harus dibayarkan. Apalagi berbicara mengenai keuntungan langsung, bukan di sini tempatnya. Hanya komitmen perusahaan, baik manajemen maupun karyawan, yang mampu terus menjaga praktek penambangan yang baik dengan memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan. Tak lupa juga komitmen dari pemerintah untuk melakukan pengawasan dan pembinaan menjadi hal wajib. Dengan komitmen bersama yang terus terjaga, keberadaan perusahaan tambang yang ‘hijau’ bukan hanya menjadi khayalan di negeri dongeng yang diceritakan ibu pada anaknya menjelang tidur.
Jika akhirnya sepotong emas bertransformasi menjadi perhiasan, semakin ‘hijau’ warna emas, semakin indah dipakai dan semakin indah untuk dikenang. Karena sebuah produk tidak hanya fungsional; ia bisa bercerita.
Terlepas dari semuanya, tentu tidak ada yang sempurna. Masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk terus berusaha menggapai mimpi melepaskan dunia tambang dari stigma negatif.
Dan suatu saat semoga saya bisa berkata:
“Tambang. Biarpun kampungan, aku bangga menjadi bagian darimu.”
“Tapi kan kampungan?”
“Ah, biarin. Yang penting aku padamu…”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H