Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Meja Hijau, Warna Merah, dan Nyanyian Hukuman

1 Januari 2025   23:51 Diperbarui: 1 Januari 2025   23:23 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal sedang duduk di sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan, menikmati malam yang penuh cerita absurd tentang kehidupan. Mereka adalah sahabat lama yang sering berkumpul untuk mengkritik dunia dengan gaya jenaka mereka.

"Bro, kalian dengar nggak berita tadi pagi?" Kobar memulai pembicaraan sambil menyeruput kopi hitamnya. "Si itu, koruptor yang bawa kabur uang rakyat miliaran, cuma dihukum enam tahun penjara."

Kahar mengangkat alisnya. "Enam tahun? Itu bahkan lebih pendek dari masa cicilan motor gua!" Semua tertawa, kecuali Rijal, yang tampak termenung.

"Jadi gini," Kahar melanjutkan. "Koruptor itu nggak cuma pintar ngitung uang, tapi juga pintar cari celah hukum. Kayak main petak umpet aja." Ia menirukan gaya anak kecil berteriak, "Sudah ketangkap, tapi... bisa ngumpet lagi!"

"Tapi, bro," Badu menyela sambil menyilangkan tangan di dada. "Nggak adil dong kalau mereka dihukum berat. Kan mereka harus tetap bisa menikmati hasil kerja keras mereka."

Semua memandang Badu dengan bingung.

"Kerja keras?" Rijal akhirnya angkat bicara. "Maksud lo, kerja keras nyusun rencana korupsi?"

Badu mengangguk penuh percaya diri. "Ya, pasti butuh otak cerdas buat ngelakuin itu semua. Lagian, hukum di sini kan kayak rem angkot; kadang ngerem, kadang blong. Jadi ya, wajar aja kalau hukumannya nggak berat-berat amat."

Kobar tertawa kecil. "Tunggu dulu, Badu. Lo becanda kan?"

Badu tersenyum. "Nggak becanda, gue realistis. Ini negara butuh hiburan. Bayangin kalau semua koruptor dihukum berat, nggak ada lagi meme lucu soal penjara mewah atau napi yang bisa karaokean di selnya."

Rijal menepuk dahinya. "Kalau gitu, gimana kalau kita bikin parodi sistem hukum kita?"

"Kayak gimana tuh?" Kahar penasaran.

"Bayangin," kata Rijal sambil bersemangat, "di pengadilan, hakim pakai topi badut, jaksa nyanyi dangdut, dan terdakwa bawa gitar buat nyanyiin lagu pembelaan. Jadi, sidangnya sekalian jadi acara variety show."

"Judul acaranya?" tanya Kahar.

"'Korupsi, Aku Cinta Kamu'," jawab Rijal dengan serius.

Kobar meledak tertawa. "Dan kalau terbukti bersalah, hukumannya adalah... ikut lomba stand-up comedy buat ngelawak soal dosa mereka."

"Brilian!" seru Badu. "Tapi jangan lupa, mereka harus tetap dapat fasilitas mewah selama lomba. Biar bagaimanapun, kita kan negara yang menghargai talenta, bahkan talenta ngekorup."

Diskusi mereka terus bergulir, makin absurd, makin penuh tawa. Hingga akhirnya, Rijal menutup pembicaraan dengan pernyataan serius.

"Teman-teman, sebenarnya apa yang kita omongin ini nggak jauh beda dari kenyataan. Kita ketawa karena absurd, tapi absurditas ini nyata. Dan kita semua, secara nggak langsung, udah jadi bagian dari sistem yang membiarkan ini terus terjadi."

Hening sejenak. Kopi di cangkir mereka mulai dingin, tapi pikiran mereka mendidih. Kobar menghela napas.

"Lo bener, Jal. Kita butuh lebih dari sekadar ketawa. Kita butuh perubahan. Tapi ya... siapa yang mulai duluan?"

Kahar mengangkat gelasnya. "Untuk sekarang, kita mulai dari sini. Dari warung kecil ini. Dengan diskusi, tawa, dan... kritik."

Semua mengangguk. Mereka tahu, meski kecil, setiap obrolan punya dampak. Dan di malam itu, di antara gelas kopi dan cerita jenaka, mereka berjanji untuk terus bicara, meski suara mereka mungkin terdengar seperti nyanyian di tengah badai.

Tapi bukankah perubahan selalu dimulai dari sebuah nyanyian kecil?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun