Rijal menepuk dahinya. "Kalau gitu, gimana kalau kita bikin parodi sistem hukum kita?"
"Kayak gimana tuh?" Kahar penasaran.
"Bayangin," kata Rijal sambil bersemangat, "di pengadilan, hakim pakai topi badut, jaksa nyanyi dangdut, dan terdakwa bawa gitar buat nyanyiin lagu pembelaan. Jadi, sidangnya sekalian jadi acara variety show."
"Judul acaranya?" tanya Kahar.
"'Korupsi, Aku Cinta Kamu'," jawab Rijal dengan serius.
Kobar meledak tertawa. "Dan kalau terbukti bersalah, hukumannya adalah... ikut lomba stand-up comedy buat ngelawak soal dosa mereka."
"Brilian!" seru Badu. "Tapi jangan lupa, mereka harus tetap dapat fasilitas mewah selama lomba. Biar bagaimanapun, kita kan negara yang menghargai talenta, bahkan talenta ngekorup."
Diskusi mereka terus bergulir, makin absurd, makin penuh tawa. Hingga akhirnya, Rijal menutup pembicaraan dengan pernyataan serius.
"Teman-teman, sebenarnya apa yang kita omongin ini nggak jauh beda dari kenyataan. Kita ketawa karena absurd, tapi absurditas ini nyata. Dan kita semua, secara nggak langsung, udah jadi bagian dari sistem yang membiarkan ini terus terjadi."
Hening sejenak. Kopi di cangkir mereka mulai dingin, tapi pikiran mereka mendidih. Kobar menghela napas.
"Lo bener, Jal. Kita butuh lebih dari sekadar ketawa. Kita butuh perubahan. Tapi ya... siapa yang mulai duluan?"