Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Vonis yang Tak Terkalahkan

1 Januari 2025   22:50 Diperbarui: 1 Januari 2025   21:57 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah warung kopi pinggiran Jakarta, empat sahabat karib duduk melingkar sambil memandang layar ponsel masing-masing. Kobar, sang seniman yang selalu mengenakan syal di leher meski cuaca panas, tampak gusar. Kahar, kritikus seni amatiran yang lebih sering kritik makanan di media sosial, duduk sambil menyeruput kopi hitam. Badu, pebisnis kecil-kecilan dengan mimpi besar, mengunyah pisang goreng. Rijal, mahasiswa filsafat yang baru saja menamatkan buku Nietzsche ketujuhnya, duduk termenung sambil memainkan sendok.

"Kalian tahu nggak? Koruptor ratusan triliun cuma divonis 6 tahun!" seru Kobar sambil melempar ponselnya ke meja.

"Seriusan?" Kahar mengangkat alis, seolah baru mendengar lelucon terburuk sepanjang masa.

"Iya! Bayangin, uang negara habis buat jet pribadi, vila di luar negeri, terus vonisnya cuma enam tahun. Enam tahun, bro!" Kobar meremas syalnya dengan penuh drama.

"Mungkin hakimnya lagi diskon," Badu tergelak. "Atau salah baca vonis, harusnya 60 tahun."

"Gue rasa itu strategi," ujar Rijal dengan nada datar tapi mematikan. "Sistem ini dirancang supaya kita lupa seiring waktu. Enam tahun itu sebentar, setelah itu dia balik jadi sosialita."

"Kalian nggak ngerti! Ini soal keadilan," Kobar menatap mereka tajam. "Kalau kita diam, artinya kita ikut mendukung."

"Lo mau gimana? Demo?" tanya Kahar sambil mengangkat cangkir kopinya.

"Bukan demo biasa," kata Kobar sambil memukul meja. "Gue mau bikin instalasi seni! Sebuah patung besar koruptor dengan timbangan keadilan yang miring. Di bawahnya, ada rakyat kecil yang diinjak. Ini seni protes!"

"Patung koruptor?" Badu tergelak lagi. "Mungkin lo bisa tambahin pigura bertuliskan, 'Jangan Ditiru!'"

"Idiot!" bentak Kobar. "Ini bukan lelucon. Seni gue punya makna dalam. Ini adalah jeritan rakyat yang muak dengan ketidakadilan."

"Masalahnya," ujar Kahar sambil mengusap dagunya, "Lo yakin orang-orang bakal paham? Kebanyakan malah selfie depan patung itu sambil ketawa."

"Kahar ada benarnya," kata Rijal. "Fenomena ini lebih ke soal hegemoni narasi. Patung lo bisa jadi simbol, tapi siapa yang menjelaskan simbol itu?"

"Gue nggak butuh penjelasan," keluh Kobar. "Gue butuh aksi."

"Kenapa nggak bikin pameran keliling?" tanya Badu. "Pakai mobil bak terbuka, muter-muter Jakarta. Biar semua orang lihat karya lo."

"Pameran keliling?" Kobar menatap Badu seolah dia baru saja mengusulkan untuk melukis dengan saus tomat.

"Eh, jangan salah," Badu melanjutkan. "Justru itu bikin seni lo lebih dekat ke masyarakat. Lo bisa tambahin suara rekaman yang bilang, 'Inilah wajah korupsi!'"

Kahar mengangguk setuju. "Betul. Dan lo bisa kasih judul: 'Vonis yang Tak Terkalahkan.' Karena sistem hukum kita selalu menang."

Kobar terdiam sejenak. Matanya menyipit, seolah merenungkan saran itu. "Ide lo nggak jelek juga, Bad. Tapi gue nggak mau cuma bikin pameran. Gue mau revolusi! Gue mau seni gue jadi simbol perlawanan!"

"Simbol perlawanan pakai patung koruptor?" Rijal mendengus. "Gue rasa, itu cukup revolusioner kalau lo juga bikin t-shirt."

"T-shirt?" Kobar mengulang kata itu seperti mantra. "Kenapa nggak? Gue bisa bikin merchandise! Patung koruptor di mug, tote bag, bahkan masker!"

Badu mengangguk dengan semangat. "Lihat, ini bukan cuma seni. Ini bisa jadi gerakan budaya sekaligus bisnis."

Akhirnya, mereka sepakat untuk menjalankan rencana itu. Sebulan kemudian, pameran keliling "Vonis yang Tak Terkalahkan" digelar di berbagai sudut Jakarta. Ribuan orang datang, termasuk selebritas dan wartawan. Merchandise Kobar laris manis, dan patung koruptor menjadi ikon baru perlawanan rakyat.

Di tengah kerumunan, Kobar berdiri dengan penuh kebanggaan. "Ini adalah bukti bahwa seni tidak bisa dibungkam!" serunya di atas mobil bak terbuka.

Kahar, Badu, dan Rijal berdiri di belakangnya, tersenyum puas. Kobar telah memenangkan pertarungannya, meski dengan bantuan ide-ide yang, menurutnya, awalnya terlalu sederhana.

"Kobar," bisik Rijal. "Jangan lupa, filsafat Nietzsche tetap mendasari kemenangan ini. Seni harus melampaui dirinya sendiri."

"Ya, ya," jawab Kobar sambil menepuk bahu Rijal. "Tapi jangan lupa, tanpa patung koruptor ini, kita semua cuma pecundang."

Dan dengan itu, mereka tertawa bersama, menyadari bahwa di balik absurditas perjuangan mereka, ada kemenangan yang tak ternilai: kebebasan berekspresi dalam bentuk yang paling tak terduga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun