Badu mengangguk dengan semangat. "Lihat, ini bukan cuma seni. Ini bisa jadi gerakan budaya sekaligus bisnis."
Akhirnya, mereka sepakat untuk menjalankan rencana itu. Sebulan kemudian, pameran keliling "Vonis yang Tak Terkalahkan" digelar di berbagai sudut Jakarta. Ribuan orang datang, termasuk selebritas dan wartawan. Merchandise Kobar laris manis, dan patung koruptor menjadi ikon baru perlawanan rakyat.
Di tengah kerumunan, Kobar berdiri dengan penuh kebanggaan. "Ini adalah bukti bahwa seni tidak bisa dibungkam!" serunya di atas mobil bak terbuka.
Kahar, Badu, dan Rijal berdiri di belakangnya, tersenyum puas. Kobar telah memenangkan pertarungannya, meski dengan bantuan ide-ide yang, menurutnya, awalnya terlalu sederhana.
"Kobar," bisik Rijal. "Jangan lupa, filsafat Nietzsche tetap mendasari kemenangan ini. Seni harus melampaui dirinya sendiri."
"Ya, ya," jawab Kobar sambil menepuk bahu Rijal. "Tapi jangan lupa, tanpa patung koruptor ini, kita semua cuma pecundang."
Dan dengan itu, mereka tertawa bersama, menyadari bahwa di balik absurditas perjuangan mereka, ada kemenangan yang tak ternilai: kebebasan berekspresi dalam bentuk yang paling tak terduga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H