"Idiot!" bentak Kobar. "Ini bukan lelucon. Seni gue punya makna dalam. Ini adalah jeritan rakyat yang muak dengan ketidakadilan."
"Masalahnya," ujar Kahar sambil mengusap dagunya, "Lo yakin orang-orang bakal paham? Kebanyakan malah selfie depan patung itu sambil ketawa."
"Kahar ada benarnya," kata Rijal. "Fenomena ini lebih ke soal hegemoni narasi. Patung lo bisa jadi simbol, tapi siapa yang menjelaskan simbol itu?"
"Gue nggak butuh penjelasan," keluh Kobar. "Gue butuh aksi."
"Kenapa nggak bikin pameran keliling?" tanya Badu. "Pakai mobil bak terbuka, muter-muter Jakarta. Biar semua orang lihat karya lo."
"Pameran keliling?" Kobar menatap Badu seolah dia baru saja mengusulkan untuk melukis dengan saus tomat.
"Eh, jangan salah," Badu melanjutkan. "Justru itu bikin seni lo lebih dekat ke masyarakat. Lo bisa tambahin suara rekaman yang bilang, 'Inilah wajah korupsi!'"
Kahar mengangguk setuju. "Betul. Dan lo bisa kasih judul: 'Vonis yang Tak Terkalahkan.' Karena sistem hukum kita selalu menang."
Kobar terdiam sejenak. Matanya menyipit, seolah merenungkan saran itu. "Ide lo nggak jelek juga, Bad. Tapi gue nggak mau cuma bikin pameran. Gue mau revolusi! Gue mau seni gue jadi simbol perlawanan!"
"Simbol perlawanan pakai patung koruptor?" Rijal mendengus. "Gue rasa, itu cukup revolusioner kalau lo juga bikin t-shirt."
"T-shirt?" Kobar mengulang kata itu seperti mantra. "Kenapa nggak? Gue bisa bikin merchandise! Patung koruptor di mug, tote bag, bahkan masker!"