Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kontemporer Itu Bebas

24 Oktober 2024   17:49 Diperbarui: 24 Oktober 2024   17:54 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah galeri kecil yang penuh dengan aroma cat minyak dan kopi instan, empat sahabat yang dikenal dengan nama Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal berkumpul lagi untuk menyaksikan karya terbaru Kobar. Hari ini, Kobar dengan bangganya memamerkan lukisan "kontemporer" yang ia klaim sebagai terobosan seni rupa masa kini.

Kahar, yang biasanya selalu kritis, mendekati kanvas besar yang menggantung di dinding. "Jadi... ini dia, Kobar? Karyamu yang katanya menantang segala aturan seni?"

Kobar tersenyum lebar, dengan percaya diri yang hampir menutupi kenyataan bahwa lukisannya adalah campuran aneh dari garis-garis tak beraturan, bentuk geometris, dan semburan warna-warna cerah yang tak terkoordinasi. Di tengah lukisan itu, ada seonggok bola kuning besar yang tampak seperti matahari, tapi dikelilingi oleh elemen-elemen yang... yah, entahlah.

Badu menggaruk kepalanya. "Ini... apa ya? Aku serius, Kobar, aku nggak bisa bedain ini antara matahari, kue donat, atau... bola voli?"

Kobar dengan bangga berkata, "Itulah keindahan seni kontemporer, Badu! Tidak ada batas, tidak ada aturan. Ini tentang kebebasan ekspresi! Kamu bisa melihat apa saja yang ingin kamu lihat di dalamnya!"

Rijal, yang biasanya lebih sabar, memandangi lukisan itu dengan saksama. "Oke, aku paham kalau seni kontemporer itu bebas, tapi... ini lebih ke arah lukisan abstrak atau apa? Karena aku bingung mau mulai dari mana memahami ini."

Kobar langsung memasang pose serius. "Rijal, kamu terlalu terikat pada konsep-konsep lama. Seni kontemporer itu bukan soal 'memahami'. Ini soal merasakan, mengalaminya dengan cara pribadi. Kamu bisa melihat matahari, Badu bisa melihat bola voli, dan aku... melihat perjuangan manusia melawan keterbatasan waktu!"

Kahar tertawa kecil. "Perjuangan melawan keterbatasan waktu? Kamu serius, Kobar? Ini terlihat lebih seperti perjuangan melawan keterbatasan ide."

Kobar tidak terpengaruh oleh komentar sinis Kahar. "Kahar, seni kontemporer itu tentang keluar dari batas-batas tradisional! Ini adalah representasi dari dunia yang terus berubah, di mana kita tidak bisa lagi terikat oleh bentuk atau makna klasik. Lukisan ini adalah simbol dari kebebasan berpikir! Kamu tidak perlu menyukai atau bahkan memahaminya."

Badu, yang biasanya lebih suka sesuatu yang jelas dan sederhana, masih bingung. "Tapi, Kobar, kenapa kamu tidak bikin sesuatu yang... lebih jelas aja? Misalnya, gambar orang, pemandangan, atau hewan? Kenapa harus... ini?"

Kobar menatap Badu dengan tatapan penuh kesadaran artistik. "Karena, Badu, dunia ini tidak lagi jelas. Hidup kita penuh dengan kerumitan, ketidakpastian, dan kontradiksi. Apa kamu pikir hidup itu selalu rapi seperti lukisan pemandangan? Tidak! Kehidupan kita lebih seperti ini, penuh dengan kekacauan, warna-warna yang bertabrakan, dan bentuk-bentuk yang tidak pernah sepenuhnya masuk akal."

Rijal mencoba lebih diplomatis. "Oke, aku paham, ini tentang refleksi dunia modern yang kacau. Tapi apa orang-orang yang melihatnya juga akan menangkap itu?"

Kobar menghela napas panjang, seolah-olah lelah harus menjelaskan hal-hal yang bagi dirinya sudah begitu jelas. "Rijal, kamu terlalu mengkhawatirkan penonton. Seni kontemporer tidak lagi soal apa yang penonton pikirkan. Ini soal apa yang aku, sebagai seniman, ingin ekspresikan. Kalau orang tidak bisa menangkap maknanya, itu urusan mereka. Yang penting aku sudah menyampaikannya."

Kahar mendekat lagi dan menunjuk bola kuning di tengah lukisan. "Dan yang ini, maksudnya apa? Bola besar kuning ini, entah kenapa aku merasa ini seperti matahari yang kesepian di tengah kosmos warna-warna yang bingung."

Kobar tersenyum penuh arti. "Kahar, kamu justru sedang mendekati intinya. Matahari ini adalah simbol dari inti kehidupan kita, yang tetap bersinar meskipun dikelilingi oleh kekacauan tak beraturan. Ini adalah harapan di tengah segala kebingungan dunia modern. Lihat betapa kecil dan rapuhnya, tapi tetap menonjol di antara bentuk-bentuk tak beraturan itu. Ini adalah... perjalanan eksistensial kita."

Badu tak bisa menahan diri lagi. "Kobar, aku nggak tahu harus kagum atau kasihan sama matahari ini. Dia kelihatan seperti terjebak di sana, nggak ada hubungannya dengan segala yang lain. Tapi kalau itu yang kamu maksud, oke lah."

Kobar tertawa keras. "Dan itulah seni kontemporer, Badu! Kamu bisa merasakan apapun tentang karya ini, dan itu sah-sah saja. Kamu bisa merasa kasihan, bisa merasa bingung, atau bahkan marah. Yang penting, kamu merasakan sesuatu. Itu yang aku kejar!"

Rijal, yang selalu berusaha memahami setiap karya seni dengan lebih dalam, akhirnya berkata, "Aku bisa melihat apa yang kamu coba sampaikan, Kobar. Tapi, apa kamu nggak merasa kalau ini terlalu... apa ya, kabur? Maksudku, ada banyak yang bisa diinterpretasikan, tapi nggak ada panduan yang jelas."

Kobar mengangguk, kali ini dengan sikap yang lebih tenang. "Itu justru esensinya, Rijal. Seni kontemporer tidak memberikan jawaban, melainkan pertanyaan. Ini adalah cerminan dari dunia kita yang tidak pernah memberikan kepastian. Karya ini adalah ruang terbuka bagi setiap orang untuk memasukkan interpretasi mereka sendiri. Kalau kamu mencari panduan yang jelas, maka kamu masih terjebak di masa lalu."

Kahar, sambil tersenyum sinis, menyimpulkan, "Jadi, intinya, kamu bisa melukis apapun yang nggak jelas, dan bilang bahwa itu seni kontemporer. Kalau orang nggak paham, itu salah mereka, bukan salah karya."

Kobar tertawa lagi. "Persis, Kahar! Dan itulah yang membuat seni kontemporer begitu menantang. Ia memaksa kita untuk keluar dari zona nyaman dan menghadapi kenyataan bahwa dunia ini tidak selalu masuk akal."

Badu, sambil mengangkat alis, berkata, "Aku jadi merasa kalau aku juga bisa jadi seniman kontemporer. Aku bisa melukis ayam goreng dengan latar belakang warna neon dan bilang kalau itu adalah kritik terhadap budaya cepat saji."

Kobar menepuk bahu Badu. "Dan kamu bisa, Badu! Seni kontemporer adalah ruang di mana semua bisa jadi mungkin. Tidak ada batasan, tidak ada aturan. Selamat datang di dunia yang bebas ini!"

Rijal tertawa kecil, akhirnya menyerah pada kekacauan yang menyenangkan ini. "Kobar, kamu benar-benar jenius atau gila. Tapi, aku harus akui, seni kontemporer itu memang menantang cara berpikir kita."

Kobar tersenyum lebar, puas bahwa setidaknya salah satu dari mereka mulai memahami. "Dan itulah tujuan dari seni ini, Rijal. Bukan untuk memberi jawaban, tapi untuk membuat kita bertanya."

Dan dengan itu, keempat sahabat itu duduk di depan lukisan Kobar, merenung---entah apakah mereka sedang memahami seni kontemporer atau hanya mencari alasan untuk tertawa bersama. Yang pasti, di dunia seni masa kini, tidak ada yang terlalu jelas, dan mungkin, itulah yang membuatnya begitu menarik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun