Rijal mencoba lebih diplomatis. "Oke, aku paham, ini tentang refleksi dunia modern yang kacau. Tapi apa orang-orang yang melihatnya juga akan menangkap itu?"
Kobar menghela napas panjang, seolah-olah lelah harus menjelaskan hal-hal yang bagi dirinya sudah begitu jelas. "Rijal, kamu terlalu mengkhawatirkan penonton. Seni kontemporer tidak lagi soal apa yang penonton pikirkan. Ini soal apa yang aku, sebagai seniman, ingin ekspresikan. Kalau orang tidak bisa menangkap maknanya, itu urusan mereka. Yang penting aku sudah menyampaikannya."
Kahar mendekat lagi dan menunjuk bola kuning di tengah lukisan. "Dan yang ini, maksudnya apa? Bola besar kuning ini, entah kenapa aku merasa ini seperti matahari yang kesepian di tengah kosmos warna-warna yang bingung."
Kobar tersenyum penuh arti. "Kahar, kamu justru sedang mendekati intinya. Matahari ini adalah simbol dari inti kehidupan kita, yang tetap bersinar meskipun dikelilingi oleh kekacauan tak beraturan. Ini adalah harapan di tengah segala kebingungan dunia modern. Lihat betapa kecil dan rapuhnya, tapi tetap menonjol di antara bentuk-bentuk tak beraturan itu. Ini adalah... perjalanan eksistensial kita."
Badu tak bisa menahan diri lagi. "Kobar, aku nggak tahu harus kagum atau kasihan sama matahari ini. Dia kelihatan seperti terjebak di sana, nggak ada hubungannya dengan segala yang lain. Tapi kalau itu yang kamu maksud, oke lah."
Kobar tertawa keras. "Dan itulah seni kontemporer, Badu! Kamu bisa merasakan apapun tentang karya ini, dan itu sah-sah saja. Kamu bisa merasa kasihan, bisa merasa bingung, atau bahkan marah. Yang penting, kamu merasakan sesuatu. Itu yang aku kejar!"
Rijal, yang selalu berusaha memahami setiap karya seni dengan lebih dalam, akhirnya berkata, "Aku bisa melihat apa yang kamu coba sampaikan, Kobar. Tapi, apa kamu nggak merasa kalau ini terlalu... apa ya, kabur? Maksudku, ada banyak yang bisa diinterpretasikan, tapi nggak ada panduan yang jelas."
Kobar mengangguk, kali ini dengan sikap yang lebih tenang. "Itu justru esensinya, Rijal. Seni kontemporer tidak memberikan jawaban, melainkan pertanyaan. Ini adalah cerminan dari dunia kita yang tidak pernah memberikan kepastian. Karya ini adalah ruang terbuka bagi setiap orang untuk memasukkan interpretasi mereka sendiri. Kalau kamu mencari panduan yang jelas, maka kamu masih terjebak di masa lalu."
Kahar, sambil tersenyum sinis, menyimpulkan, "Jadi, intinya, kamu bisa melukis apapun yang nggak jelas, dan bilang bahwa itu seni kontemporer. Kalau orang nggak paham, itu salah mereka, bukan salah karya."
Kobar tertawa lagi. "Persis, Kahar! Dan itulah yang membuat seni kontemporer begitu menantang. Ia memaksa kita untuk keluar dari zona nyaman dan menghadapi kenyataan bahwa dunia ini tidak selalu masuk akal."
Badu, sambil mengangkat alis, berkata, "Aku jadi merasa kalau aku juga bisa jadi seniman kontemporer. Aku bisa melukis ayam goreng dengan latar belakang warna neon dan bilang kalau itu adalah kritik terhadap budaya cepat saji."