Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kobar dan Ilusi Cahaya yang Bikin Bingung

24 Oktober 2024   14:46 Diperbarui: 24 Oktober 2024   14:52 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari itu, Kobar tampak serius di depan kanvas putihnya. Ia sudah bersumpah akan mencoba sesuatu yang benar-benar baru. Setelah sempat "gagal" dengan eksperimen surealis yang dihancurkan oleh kritikan tajam dari Kahar, Badu, dan Rijal, Kobar kali ini memilih aliran yang berbeda. Ia beralih ke impresionisme.

"Ini kan aliran yang ringan, penuh warna-warni, dan fokus pada permainan cahaya. Nggak mungkin mereka bisa kritik habis-habisan lagi," gumam Kobar sambil menggenggam kuas dengan penuh semangat.

Dengan sapuan cepat, Kobar mulai melukis. Ia tidak lagi terpaku pada detail, melainkan fokus pada kesan umum dari pemandangan taman di sore hari. Warna-warna yang cerah, sapuan kuas yang pendek dan terputus, dan permainan cahaya yang berpadu dengan bayangan pohon membuat Kobar merasa seolah-olah dirinya sudah menjadi Monet versi lokal.

Satu jam kemudian, Kahar, Badu, dan Rijal datang seperti biasa. Mereka berdiri mengelilingi Kobar yang masih sibuk menyempurnakan "ilusi" matahari terbenam di kanvasnya.

"Wah, wah, apa ini? Kobar sekarang jadi seniman cahaya dan bayangan, nih?" tanya Badu dengan nada mengejek.

Kobar, yang sudah siap dengan jawaban elegannya, menatap Badu dengan anggun. "Ini impresionisme, kawan. Bukan soal detail, tapi soal kesan. Aku tidak sedang melukis apa yang aku lihat, tapi apa yang aku rasakan."

Kahar mencondongkan badannya, mendekati lukisan itu. "Oh, jadi ini taman, ya? Hmm... aku pikir tadi ini lukisan kebakaran di hutan. Warna-warnanya agak meledak-ledak, ya."

Kobar tersenyum percaya diri. "Itulah esensinya! Warna-warna ini bukan untuk mereplikasi kenyataan, tapi untuk mengekspresikan atmosfer. Kamu harus merasakannya, Kahar."

Rijal, yang biasanya paling bijak di antara mereka, mengamati lukisan itu dengan serius. "Kobar, aku mengerti kamu mencoba menangkap cahaya dan bayangan. Tapi... kenapa pohon-pohon ini terlihat seperti sedang kabur dari angin badai? Apa kamu pakai kuas atau sapu untuk mengerjakannya?"

Kobar terdiam sejenak. "Rijal, ini memang gaya impresionis. Sapuan kuasnya cepat dan terfragmentasi. Gaya ini tidak memedulikan detail kecil, melainkan keseluruhan kesan dari suatu momen."

Badu yang dari tadi menahan tawa akhirnya tak bisa lagi menahan ledakan tawanya. "Kobar, aku serius. Kamu bilang ini taman sore hari, tapi di mana tamannya? Mana orang-orang yang biasanya jalan-jalan? Semua yang ada di sini cuma gumpalan warna. Apa mereka sedang sembunyi di balik bayangan?"

Kobar mulai merasa tersudut. "Orang-orang itu tidak perlu digambar secara detail. Mereka ada di dalam imajinasi! Lihat, di sini, mereka sebenarnya sedang berjalan-jalan, menikmati sore hari."

Kahar menelusuri lukisan itu dengan pandangan bingung. "Maksudmu, gumpalan warna merah di sini itu... orang? Dan yang hijau itu... apa? Anjing peliharaan?"

"Bukan anjing, Kahar," Kobar menghela napas. "Itu semak-semak. Kamu terlalu terpaku pada detail! Coba nikmati suasananya!"

Rijal mulai ikut tersenyum lebar. "Kobar, aku tahu impresionisme itu soal menangkap momen singkat dalam cahaya. Tapi bukankah setidaknya kita butuh sedikit petunjuk soal apa yang sedang terjadi? Ini sih bukan impresionisme, ini mungkin lebih cocok disebut 'lukisan ilusi optik'."

Kobar mengangkat tangannya, bersiap untuk memberikan penjelasan ilmiah. "Kalian tahu nggak, impresionisme adalah tentang menangkap efek cahaya. Claude Monet pernah bilang---"

"Tunggu-tunggu," sela Badu dengan cepat, "kalau Monet yang melukis ini, mungkin dia lagi pakai kacamata hitam."

Semua tertawa keras, kecuali Kobar, yang mulai frustasi. "Kalian semua ini tidak menghargai seni yang mencoba keluar dari batas-batas tradisional. Ini bukan tentang tampilan yang jelas, ini tentang menangkap perasaan yang cepat dan sementara. Lihatlah! Aku bahkan bisa merasakan angin yang berhembus di lukisan ini."

Kahar memiringkan kepalanya. "Angin? Aku malah lebih merasa seperti ada badai besar yang datang."

Badu menepuk pundak Kobar dengan ramah. "Santai, Kobar. Mungkin kamu hanya terlalu cepat bergerak. Maksudku, kamu melukis impresionis seperti orang sedang mengejar kereta terakhir. Apa nggak ada yang namanya menikmati momen?"

Kobar mulai kehilangan kesabaran. "Impresionisme itu memang harus cepat! Ini bukan tentang presisi, ini soal spontanitas! Ini soal... perasaan di momen itu!"

Rijal, yang berusaha lebih konstruktif, berkata, "Aku paham, Kobar. Kamu ingin menangkap momen singkat itu. Tapi mungkin kamu bisa memberikan sedikit penjelasan dalam bentuk visual juga. Biar penonton nggak merasa tersesat di antara gumpalan warna."

Kobar terdiam. Dia ingin membela diri, tapi ia tahu bahwa ada kebenaran dalam kritikan mereka. Lukisannya mungkin memang lebih mirip seperti pemandangan taman yang dilihat dari kaca berembun.

"Tapi aku sudah mengikuti semua prinsip impresionisme," gumamnya dengan nada menyerah.

Badu terkekeh. "Mungkin prinsipnya sudah kamu ikuti, tapi hasilnya... ya, masih jauh dari Monet. Tapi jangan khawatir, Kobar. Setiap seniman besar juga butuh waktu untuk menemukan gayanya sendiri. Mungkin kamu cuma butuh melambat sedikit. Coba nikmati prosesnya, biar nggak seperti angin puyuh lagi."

Kahar menambahkan dengan lembut, "Benar, kamu punya bakat untuk eksperimen, Kobar. Cuma perlu sedikit keseimbangan antara spontanitas dan kontrol. Kalau semuanya terlalu cepat, hasilnya bisa bikin kita pusing."

Kobar, meski merasa terpojok, mengangguk. Dia tahu, mereka benar. Mungkin impresionisme bukan hanya soal kecepatan, tapi juga soal kepekaan terhadap suasana. Bagaimana menangkap momen tanpa mengorbankan kejelasan.

"Aku akan coba lagi," katanya dengan nada lebih tenang. "Tapi kali ini, aku akan melambat sedikit. Mungkin angin sepoi-sepoi lebih baik daripada badai."

Semua tertawa, dan Kobar mulai memikirkan cara baru untuk mendekati impresionisme. Mungkin kali ini, dia akan menangkap cahaya dengan lebih lembut, tanpa terburu-buru. Dan mungkin, taman sore hari di kanvas berikutnya tidak akan terlihat seperti kebakaran hutan lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun