Kobar terdiam. Dia ingin membela diri, tapi ia tahu bahwa ada kebenaran dalam kritikan mereka. Lukisannya mungkin memang lebih mirip seperti pemandangan taman yang dilihat dari kaca berembun.
"Tapi aku sudah mengikuti semua prinsip impresionisme," gumamnya dengan nada menyerah.
Badu terkekeh. "Mungkin prinsipnya sudah kamu ikuti, tapi hasilnya... ya, masih jauh dari Monet. Tapi jangan khawatir, Kobar. Setiap seniman besar juga butuh waktu untuk menemukan gayanya sendiri. Mungkin kamu cuma butuh melambat sedikit. Coba nikmati prosesnya, biar nggak seperti angin puyuh lagi."
Kahar menambahkan dengan lembut, "Benar, kamu punya bakat untuk eksperimen, Kobar. Cuma perlu sedikit keseimbangan antara spontanitas dan kontrol. Kalau semuanya terlalu cepat, hasilnya bisa bikin kita pusing."
Kobar, meski merasa terpojok, mengangguk. Dia tahu, mereka benar. Mungkin impresionisme bukan hanya soal kecepatan, tapi juga soal kepekaan terhadap suasana. Bagaimana menangkap momen tanpa mengorbankan kejelasan.
"Aku akan coba lagi," katanya dengan nada lebih tenang. "Tapi kali ini, aku akan melambat sedikit. Mungkin angin sepoi-sepoi lebih baik daripada badai."
Semua tertawa, dan Kobar mulai memikirkan cara baru untuk mendekati impresionisme. Mungkin kali ini, dia akan menangkap cahaya dengan lebih lembut, tanpa terburu-buru. Dan mungkin, taman sore hari di kanvas berikutnya tidak akan terlihat seperti kebakaran hutan lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H