Di sudut warung kopi yang sudah jadi pangkalan tetap mereka, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal kembali berkumpul setelah presiden baru dilantik. Topik panas hari ini adalah '100 hari pertama sang presiden baru'. Harapan, janji, dan kekecewaan sudah bercampur aduk dalam kepala mereka.
Kobar, dengan gaya sok seriusnya, membuka diskusi. "Bro, gue nggak tahu ya, tapi udah 100 hari nih, dan kayaknya yang berubah cuma gaya rambut presiden. Kebijakan sih nggak kelihatan banyak bedanya."
Badu langsung tertawa. "Hahaha! Bener banget, Bor! Waktu kampanye ngomongnya macam superhero, sekarang... ya elah, kayak pemeran figuran aja!"
Kahar, yang biasanya lebih optimis, mencoba bertahan. "Ya jangan gitu dong, masih 100 hari ini. Mungkin dia butuh waktu lebih buat nyetel."
Rijal, yang biasanya lebih tenang, mengangguk setuju. "Bener, Har. Masih ada banyak waktu. Tapi ya, gue setuju sama Kobar juga. Harapan kita waktu kampanye tinggi banget, tapi sampai sekarang yang terlihat cuma pencitraan."
Kobar mendesah panjang. "Gue udah nggak ngerti lagi. Janjinya 100 hari bakal ada perubahan besar. Eh, yang besar cuma anggaran kunjungan luar negerinya."
Badu kembali menyelutuk dengan nada jahil. "Iya, Bor! Dari janji 'kerja keras untuk rakyat' jadi 'jalan-jalan demi investasi'. Udah kayak vlog travel nih pemerintah kita."
Tawa meledak dari mulut mereka berempat. Tapi seperti biasa, di balik tawa itu ada rasa getir.
Kahar, meski mencoba lebih rasional, kali ini tampak ragu. "Tapi ya, gue juga mulai mikir sih. 100 hari pertama itu mestinya bisa jadi tolok ukur. Kalau belum ada gebrakan sekarang, kapan lagi?"
Rijal ikut menimpali. "Apalagi soal ekonomi. Janjinya sih mau naikin daya beli rakyat, tapi yang naik malah harga-harga. Eh, apa itu juga bagian dari strateginya?"
Kobar langsung tertawa sinis. "Strategi? Ya ampun, Ji. Itu bukan strategi, itu malapetaka! Rakyat jadi pusing sendiri, yang kaya makin kaya, yang miskin cuma bisa ngelus dada."
Badu mengangguk-angguk sok paham. "Iya, Bor. Gue rasa presiden kita salah paham soal 'meningkatkan daya beli rakyat.' Dia pikir itu berarti rakyat harus beli dengan harga lebih mahal. Hahaha!"
Kahar mencoba tetap membela. "Eh, tapi kita juga jangan terlalu keras lah. Ada beberapa program yang baru mulai kok. Katanya sih soal infrastruktur bakal digencarin lagi."
Kobar melirik Kahar dengan pandangan penuh satire. "Infrastruktur lagi? Lu mau bilang mereka bikin jembatan lagi? Jalan tol lagi? Pembangunan apa lagi yang gunanya lebih buat investor daripada buat rakyat?"
Badu tertawa, tapi kali ini dengan nada cemas. "Iya ya. Jalan tol sih bagus, tapi kita juga butuh yang lebih dari itu. Mungkin kita bisa minta... hmm, apa ya? Tempat istirahat buat rakyat kecil di pinggir jalan tol. Biar yang nggak mampu nyetir mobil bisa ngerasain nikmatnya tol."
Kahar tertawa getir. "Ya nggak gitu juga, Du! Maksud gue, presiden pasti punya rencana jangka panjang yang lebih besar. Cuma ya, harus sabar. 100 hari pertama itu cuma pembukaan."
Rijal, dengan nada seriusnya, ikut menambahkan. "Tapi bro, 100 hari itu momentum. Kalau di awal aja nggak ada gebrakan, rakyat bakal makin kehilangan kepercayaan. Padahal waktu kampanye, semua janji itu kayak obat mujarab."
Kobar tersenyum kecut, meneguk kopi hitamnya yang sudah mulai dingin. "Iya, Ji. Gue masih ingat pas debat-debat pilpres. Presiden kita sekarang ngomong kayak dia punya resep buat semua masalah negara. Tapi yang gue lihat sekarang, kayaknya resep itu hilang atau tertinggal di dapur."
Badu menimpali dengan lelucon khasnya. "Hahaha! Mungkin resepnya ditinggal pas dia pindah ke istana baru, Bor. Jadi yang ada sekarang cuma bumbu-bumbu kampanye doang, tanpa makanan yang bisa kita makan."
Tawa mereka kembali pecah. Namun, di balik canda dan tawa itu, jelas terlihat kekecewaan yang mulai merambat di benak mereka.
Kahar, yang selalu berusaha memberikan perspektif positif, menghela napas panjang. "Tapi ya, mau gimana lagi. Kita udah milih, dan presiden ini yang terpilih. Kita tinggal berharap aja dia benar-benar mulai bekerja, bukan sekadar berjanji lagi."
Kobar, yang biasanya paling keras mengkritik, kali ini mengangguk setuju. "Iya, Har. Mau nggak mau, kita harus tunggu. Tapi, gue harap 100 hari kedua dia nggak cuma diisi dengan potong pita dan foto-foto lagi."
Badu tersenyum lebar. "Iya, Bor. Gue nggak butuh lagi lihat presiden potong pita jalan tol baru atau pamer proyek. Gue butuh lihat rakyat bisa makan dengan tenang, nggak ketar-ketir mikirin harga bahan pokok naik terus."
Rijal menutup percakapan dengan kalimat bijaknya. "Yah, semoga di sisa masa pemerintahannya, presiden baru ini bisa ngasih bukti, bukan cuma janji. Kalau nggak, 100 hari pertama ini bakal diingat sebagai seribu alasan."
Dengan tawa kecil yang masih tersisa, mereka melanjutkan obrolan santai lainnya. Namun di balik gurauan mereka, ada keresahan yang tak terucap---keresahan tentang masa depan yang masih abu-abu, dan tentang 100 hari yang sudah berlalu tanpa perubahan berarti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H