Kobar langsung tertawa sinis. "Strategi? Ya ampun, Ji. Itu bukan strategi, itu malapetaka! Rakyat jadi pusing sendiri, yang kaya makin kaya, yang miskin cuma bisa ngelus dada."
Badu mengangguk-angguk sok paham. "Iya, Bor. Gue rasa presiden kita salah paham soal 'meningkatkan daya beli rakyat.' Dia pikir itu berarti rakyat harus beli dengan harga lebih mahal. Hahaha!"
Kahar mencoba tetap membela. "Eh, tapi kita juga jangan terlalu keras lah. Ada beberapa program yang baru mulai kok. Katanya sih soal infrastruktur bakal digencarin lagi."
Kobar melirik Kahar dengan pandangan penuh satire. "Infrastruktur lagi? Lu mau bilang mereka bikin jembatan lagi? Jalan tol lagi? Pembangunan apa lagi yang gunanya lebih buat investor daripada buat rakyat?"
Badu tertawa, tapi kali ini dengan nada cemas. "Iya ya. Jalan tol sih bagus, tapi kita juga butuh yang lebih dari itu. Mungkin kita bisa minta... hmm, apa ya? Tempat istirahat buat rakyat kecil di pinggir jalan tol. Biar yang nggak mampu nyetir mobil bisa ngerasain nikmatnya tol."
Kahar tertawa getir. "Ya nggak gitu juga, Du! Maksud gue, presiden pasti punya rencana jangka panjang yang lebih besar. Cuma ya, harus sabar. 100 hari pertama itu cuma pembukaan."
Rijal, dengan nada seriusnya, ikut menambahkan. "Tapi bro, 100 hari itu momentum. Kalau di awal aja nggak ada gebrakan, rakyat bakal makin kehilangan kepercayaan. Padahal waktu kampanye, semua janji itu kayak obat mujarab."
Kobar tersenyum kecut, meneguk kopi hitamnya yang sudah mulai dingin. "Iya, Ji. Gue masih ingat pas debat-debat pilpres. Presiden kita sekarang ngomong kayak dia punya resep buat semua masalah negara. Tapi yang gue lihat sekarang, kayaknya resep itu hilang atau tertinggal di dapur."
Badu menimpali dengan lelucon khasnya. "Hahaha! Mungkin resepnya ditinggal pas dia pindah ke istana baru, Bor. Jadi yang ada sekarang cuma bumbu-bumbu kampanye doang, tanpa makanan yang bisa kita makan."
Tawa mereka kembali pecah. Namun, di balik canda dan tawa itu, jelas terlihat kekecewaan yang mulai merambat di benak mereka.
Kahar, yang selalu berusaha memberikan perspektif positif, menghela napas panjang. "Tapi ya, mau gimana lagi. Kita udah milih, dan presiden ini yang terpilih. Kita tinggal berharap aja dia benar-benar mulai bekerja, bukan sekadar berjanji lagi."