Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ngopi di Warung

17 Oktober 2024   19:29 Diperbarui: 17 Oktober 2024   19:31 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah desa kecil yang penuh kehangatan, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal adalah empat sahabat yang memiliki kebiasaan yang tak terpisahkan: ngopi di warung. Setiap sore, mereka berkumpul di Warung Kopi "Sahabat Sejati," sebuah tempat kecil dengan kursi kayu dan aroma kopi yang menggoda.

Satu sore, Kobar tiba lebih awal dan duduk di sudut favoritnya. Dengan semangat, ia memesan kopi hitam pekat. "Kopi ini akan membuat kita jadi lebih cerdas!" katanya sambil tersenyum lebar.

Kahar datang berikutnya, meragukan pernyataan Kobar. "Cerdas atau hanya sekadar berasa? Kita semua tahu bahwa ngopi di sini bukan soal cerdas, tapi soal bersosialisasi," jawabnya sambil memesan secangkir cappuccino.

Badu, yang selalu bijak, menyela, "Ngopi adalah ritual. Saat kita duduk bersama, kita berbagi cerita dan pengalaman. Itu yang sebenarnya membuat kita lebih baik."

Tak lama kemudian, Rijal bergabung dengan secangkir kopi susu manis. "Teman-teman, kamu tidak akan percaya! Ngopi itu sudah menjadi tren di kalangan anak muda. Bahkan, mereka membuat konten di media sosial hanya untuk menunjukkan betapa asyiknya ngopi!"

Kobar menanggapi dengan sinis, "Jadi sekarang ngopi bisa dijadikan konten? Berapa banyak like yang kamu dapat dari foto kopi?"

Rijal menjawab, "Cukup banyak! Tetapi kita ngopi bukan hanya untuk sosial media, kan?"

Kahar, yang mengamati keadaan, berkata, "Nah, di situlah masalahnya. Ngopi harusnya menjadi momen untuk bercengkerama, bukan hanya untuk eksis di media sosial."

Setelah mereka menghabiskan secangkir kopi, Kobar mengusulkan, "Bagaimana jika kita bikin lomba ngopi? Siapa yang paling kreatif dalam menikmati kopi? Kita bisa undang semua warga!"

Mendengar ide Kobar, Badu menambahkan, "Itu bisa jadi menarik, tapi jangan sampai kita kehilangan makna dari ngopi itu sendiri. Jangan sampai ngopi jadi ajang kompetisi."

Kahar setuju, "Benar, kita harus ingat bahwa ngopi adalah tentang pertemanan dan kebersamaan. Bukan hanya sekadar memamerkan gaya."

Saat mereka merencanakan lomba ngopi, warga desa mulai mendengar dan ikut berpartisipasi. Setiap orang mulai menunjukkan cara unik mereka dalam menikmati kopi, dari cara penyajian hingga cara menikmati.

Satu bulan kemudian, acara lomba ngopi pun diadakan di halaman Warung Kopi "Sahabat Sejati." Berbagai macam kopi disajikan, dari kopi tubruk hingga kopi kekinian dengan berbagai toping.

Namun, saat acara berlangsung, Kobar dan teman-teman menyadari bahwa suasana lomba menjadi terlalu serius. Peserta berlomba-lomba untuk membuat kopi terbaik, sementara tujuan awal mereka untuk bersenang-senang mulai memudar.

Kahar, yang melihat situasi ini, berkata, "Teman-teman, kita lupa mengapa kita ngopi di sini. Kita harus ingat, ini adalah momen untuk bersenang-senang, bukan untuk bersaing!"

Badu mengangguk, "Kita harus kembali ke esensi ngopi. Mari kita ciptakan suasana di mana semua orang bisa berbagi cerita dan tawa."

Rijal menyarankan, "Bagaimana kalau kita berhenti sejenak dari lomba dan mengajak semua orang untuk berkumpul dan berbagi cerita?"

Mereka pun melakukan hal itu. Dengan semangat, Kobar mengajak semua peserta untuk duduk bersama dan bercerita. Suasana yang awalnya tegang berubah menjadi hangat dan penuh tawa. Semua orang mulai berbagi pengalaman lucu mereka saat ngopi, membuat momen itu terasa lebih berharga.

Akhirnya, mereka menyadari bahwa ngopi bukan hanya tentang kopi atau lomba, tetapi tentang hubungan antar manusia. Kebersamaan di warung kopi memberi makna yang lebih dalam dari sekadar menenggak cairan pahit.

Setelah hari yang penuh kegembiraan itu, Kobar berkata, "Ngopi itu memang lebih dari sekadar minuman. Ini adalah cara kita merayakan persahabatan dan berbagi cerita."

Kahar menambahkan, "Dan yang terpenting, kita harus tetap sederhana. Ngopi sambil bersyukur atas kebersamaan ini adalah hal yang paling berharga."

Badu dan Rijal tersenyum, setuju dengan pendapat Kobar dan Kahar. Mereka pulang dengan hati yang lebih hangat, bertekad untuk tidak hanya sekadar ngopi, tetapi juga menikmati setiap momen berharga yang mereka miliki di warung kopi.

Dan begitulah, di Warung Kopi "Sahabat Sejati," kebiasaan ngopi mereka menjadi lebih berarti, penuh makna, dan tidak lagi sekadar ritual yang kosong. Sebuah pengingat bahwa dalam kehidupan yang serba cepat ini, terkadang kita perlu berhenti sejenak dan menghargai momen-momen kecil yang membuat hidup lebih berwarna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun