Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal sering berkumpul di sebuah warung kopi kecil milik Bu Tini. Suatu sore, saat secangkir kopi hangat di tangan mereka, mereka mulai membahas berbagai hal yang mengganggu pikiran mereka.
Di sebuah desa yang dikelilingi oleh sawah,Kobar, si optimis, memulai percakapan. "Kalian pernah merasa hidup ini kok terasa semakin meresahkan? Sepertinya banyak hal yang bikin kita khawatir."
Kahar, yang selalu skeptis, mengangguk. "Iya, Kobar. Belakangan ini banyak berita tentang konflik, ekonomi yang makin sulit, dan isu-isu sosial yang bikin kita merasa nggak nyaman."
Badu, si penghibur, menyela. "Ah, itu sih biasa. Suka-suka kita saja, mau peduli atau tidak. Toh, yang penting kita bisa ngopi dan ketawa!"
Rijal, yang lebih serius, menimpali. "Tapi, Badu, kalau kita terus mengabaikan masalah, bagaimana kita bisa berkontribusi untuk perubahan? Merasa nyaman sambil dunia di luar berantakan itu bukan solusi."
Kobar menyetujui. "Betul. Kita harus sadar bahwa masalah di masyarakat itu nyata. Seperti isu pemuda yang kurang produktif, kita harus peduli dan mencari solusi."
Badu tersenyum nakal. "Kalau kita peduli, kenapa tidak kita bikin festival 'Cinta Kasih Pemuda' saja? Siapa tahu bisa mengubah hidup mereka!"
Kahar menatap Badu dengan skeptis. "Festival? Apa yang bisa kita lakukan dengan festival? Mungkin sekadar acara tambal sulam bagi masalah yang lebih besar."
Rijal berpikir sejenak. "Mungkin bukan festival yang kita butuhkan, tapi diskusi serius. Kita bisa ajak pemuda desa untuk berbicara tentang masa depan mereka."
Kobar bersemangat. "Setuju! Kita bisa adakan forum terbuka, ajak semua orang untuk bicara dan berbagi pandangan."
Badu mengernyitkan dahi. "Tapi, diskusi itu bisa bikin pusing! Siapa yang mau mendengarkan kalau lebih suka main game?"
Kahar mencemooh. "Itu masalahnya! Pemuda lebih tertarik pada hiburan daripada hal yang serius. Mereka lebih suka scrolling media sosial daripada berpikir."
Rijal mengangguk. "Tapi mungkin kita bisa mengajak mereka dengan cara yang menyenangkan. Menggunakan media sosial untuk mengajak mereka berpikir kritis tentang isu-isu di sekitar."
Kobar setuju. "Kita bisa buat konten menarik, misalnya meme tentang kehidupan di desa dan tantangan yang kita hadapi. Siapa tahu mereka tertarik."
Badu tiba-tiba bersemangat. "Ayo, kita bikin meme! 'Ketika masalah datang, ngopi adalah solusinya!' atau 'Kalau hidupmu meresahkan, datang ke warung Bu Tini!'"
Kahar tidak bisa menahan tawa. "Mungkin itu bisa menarik perhatian! Kita bisa buat hashtag dan menyebarluaskan pesan positif."
Rijal menambahkan, "Tapi kita juga harus memberi contoh. Tidak hanya sekadar meme, tapi aksi nyata. Kita bisa mengajak pemuda untuk berkontribusi dalam kegiatan sosial."
Kobar menepuk meja. "Betul! Kita bisa adakan bersih-bersih desa atau membantu orang tua yang membutuhkan. Dengan cara itu, mereka bisa merasakan kepuasan dari berbuat baik."
Badu menggoda. "Tapi jangan sampai mereka menganggap itu hanya program buat foto-foto untuk Instagram. Kita perlu membuat mereka merasakannya di hati."
Kahar setuju. "Kita harus jujur dan tulus. Kehidupan yang meresahkan tidak bisa diselesaikan dengan gimmick. Kita perlu membangun kesadaran dan empati."
Ketika mereka berbicara, tiba-tiba Bu Tini datang membawa semangkuk gorengan. "Ngomong-ngomong soal kehidupan yang meresahkan, kalian sudah tahu belum bahwa harga cabai naik lagi?"
Semua langsung terdiam. Kobar memandang ke arah Kahar dan Badu. "Nah, itu dia contoh nyata! Kenaikan harga membuat banyak orang sulit."
"Apakah itu membuat kita semakin resah?" tanya Badu sambil menggigit gorengan.
Kahar menjawab, "Sangat. Itu menunjukkan bahwa masalah ekonomi harus kita hadapi bersama. Kita tidak bisa hanya duduk diam."
Rijal mengangguk. "Mungkin kita bisa mulai dari hal kecil. Membuat program pengembangan ekonomi lokal, seperti mendukung petani."
Kobar berkata, "Kita bisa mengajak pemuda untuk berpartisipasi, memberi mereka kesempatan untuk belajar dan berinovasi. Dengan begitu, kita membangun masa depan yang lebih baik."
Badu tersenyum, "Jadi, kita mulai dengan ngopi sambil merencanakan. Begitu selesai, langsung kita turun ke lapangan!"
Kahar dan Rijal mengangguk setuju, dan mereka sepakat untuk memulai langkah kecil namun nyata. Mereka bercanda sambil memikirkan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengatasi kehidupan yang meresahkan di desa.
Saat matahari terbenam, mereka menyadari bahwa kehidupan mungkin meresahkan, tetapi dengan saling mendukung dan berbuat baik, mereka bisa menciptakan perubahan, sedikit demi sedikit. Di bawah pohon mangga, mereka merayakan kebersamaan dan semangat untuk menghadapi tantangan yang ada di depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H