Kahar mencemooh. "Itu masalahnya! Pemuda lebih tertarik pada hiburan daripada hal yang serius. Mereka lebih suka scrolling media sosial daripada berpikir."
Rijal mengangguk. "Tapi mungkin kita bisa mengajak mereka dengan cara yang menyenangkan. Menggunakan media sosial untuk mengajak mereka berpikir kritis tentang isu-isu di sekitar."
Kobar setuju. "Kita bisa buat konten menarik, misalnya meme tentang kehidupan di desa dan tantangan yang kita hadapi. Siapa tahu mereka tertarik."
Badu tiba-tiba bersemangat. "Ayo, kita bikin meme! 'Ketika masalah datang, ngopi adalah solusinya!' atau 'Kalau hidupmu meresahkan, datang ke warung Bu Tini!'"
Kahar tidak bisa menahan tawa. "Mungkin itu bisa menarik perhatian! Kita bisa buat hashtag dan menyebarluaskan pesan positif."
Rijal menambahkan, "Tapi kita juga harus memberi contoh. Tidak hanya sekadar meme, tapi aksi nyata. Kita bisa mengajak pemuda untuk berkontribusi dalam kegiatan sosial."
Kobar menepuk meja. "Betul! Kita bisa adakan bersih-bersih desa atau membantu orang tua yang membutuhkan. Dengan cara itu, mereka bisa merasakan kepuasan dari berbuat baik."
Badu menggoda. "Tapi jangan sampai mereka menganggap itu hanya program buat foto-foto untuk Instagram. Kita perlu membuat mereka merasakannya di hati."
Kahar setuju. "Kita harus jujur dan tulus. Kehidupan yang meresahkan tidak bisa diselesaikan dengan gimmick. Kita perlu membangun kesadaran dan empati."
Ketika mereka berbicara, tiba-tiba Bu Tini datang membawa semangkuk gorengan. "Ngomong-ngomong soal kehidupan yang meresahkan, kalian sudah tahu belum bahwa harga cabai naik lagi?"
Semua langsung terdiam. Kobar memandang ke arah Kahar dan Badu. "Nah, itu dia contoh nyata! Kenaikan harga membuat banyak orang sulit."