Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjadi Tak Berarti

17 Oktober 2024   01:11 Diperbarui: 17 Oktober 2024   01:18 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah desa kecil yang penuh warna, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal adalah sahabat karib yang dikenal dengan kepribadian unik mereka. Namun, di balik tawa dan candaan, mereka seringkali merasakan ketidakberartian dalam hidup yang semakin membebani mereka. Suatu sore, mereka berkumpul di warung kopi Bu Tini, tempat favorit mereka, untuk berbincang-bincang.

"Teman-teman," kata Kobar dengan nada serius. "Apakah kalian pernah merasa bahwa hidup ini tidak berarti?"

Kahar, yang selalu berpikir dalam-dalam, mengangguk. "Aku merasa seperti itu belakangan ini. Seperti kita hanya menjadi bagian dari keramaian tanpa tujuan yang jelas."

Badu yang biasanya ceria, terlihat murung. "Iya! Aku merasa seperti aku hanya berputar di tempat. Bekerja, makan, tidur, lalu ulang lagi. Apa sebenarnya tujuan dari semua ini?"

Rijal, yang biasanya suka berdebat, mengangkat alis. "Tapi, bukankah banyak orang di luar sana yang berjuang keras untuk bertahan hidup? Kita seharusnya bersyukur karena kita masih bisa berkumpul di sini."

"Bersyukur untuk apa?" Badu menjawab. "Untuk kopi yang kita minum, atau untuk rutinitas yang membosankan? Kita harus mencari arti yang lebih dalam!"

Kobar mengusulkan, "Bagaimana kalau kita lakukan sesuatu yang berbeda? Kita cari pengalaman baru untuk menemukan arti hidup kita!"

"Seperti apa?" Kahar bertanya penasaran.

Kobar berpikir sejenak. "Kita bisa ikut kegiatan sosial atau menjadi sukarelawan. Mungkin dengan membantu orang lain, kita bisa menemukan arti hidup yang hilang itu."

Rijal skeptis. "Tapi itu kan hanya akan membuat kita lelah. Lagipula, apa bedanya kita membantu orang lain jika kita sendiri merasa tidak berarti?"

"Kan kita bisa jadi berarti bagi orang lain!" Kobar membalas. "Kita bisa memulai dengan hal kecil. Misalnya, membantu di panti asuhan atau membersihkan lingkungan."

Akhirnya, setelah perdebatan panjang, mereka sepakat untuk mengunjungi panti asuhan yang terletak tidak jauh dari desa. Keesokan harinya, dengan semangat baru, mereka berempat berangkat dengan harapan menemukan arti hidup yang hilang.

Setibanya di panti asuhan, mereka disambut oleh anak-anak yang ceria. Kobar langsung melibatkan diri dengan mengajak anak-anak bermain. Kahar mulai membaca cerita, sementara Badu dan Rijal membantu menyiapkan makanan.

Namun, seiring berjalannya waktu, rasa lelah mulai muncul. Rijal merasa bosan, dan Badu mulai mempertanyakan tindakannya. "Apakah ini yang kita sebut menemukan arti hidup? Aku hanya capek, dan semua ini terasa sia-sia."

"Kalau kita merasa tak berarti, mungkin kita perlu introspeksi," kata Kahar, "bukan hanya mengandalkan orang lain untuk memberi makna."

Kobar mencoba menghibur, "Tapi lihatlah senyum anak-anak ini! Mereka senang, dan itu memberi kita sedikit arti, bukan?"

Tetapi saat sore tiba, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal merasakan lelah yang menyentuh hati. Mereka mulai berdebat satu sama lain. "Apa gunanya kita berada di sini jika kita merasa capek?" Rijal bersungut-sungut.

Badu menggerutu, "Apa kita hanya jadi penghibur sementara? Kita datang, lalu pergi, dan mereka akan tetap sama. Apakah ini cukup untuk mengubah hidup kita?"

Kahar, yang mendengarkan keluhan teman-temannya, merespons, "Mungkin kita memang tidak bisa mengubah dunia, tetapi kita bisa memberikan dampak kecil. Setiap senyuman anak-anak itu memiliki arti."

Kobar menambahkan, "Tapi kita tidak bisa berharap terlalu banyak. Kita mungkin tidak akan pernah tahu sejauh mana kita memberi dampak. Terkadang, kita hanya bisa menerima kenyataan bahwa hidup ini memang tidak selalu berarti."

Perdebatan mereka berlanjut hingga sore. Mereka pulang dengan perasaan campur aduk, tak tahu apakah mereka benar-benar menemukan arti atau justru semakin kehilangan.

Malam itu, di warung Bu Tini, mereka duduk dalam keheningan. Kobar berkata, "Teman-teman, sepertinya kita gagal menemukan arti hidup. Kita datang dengan harapan tinggi, tetapi pulang dengan rasa hampa."

Kahar menghela napas. "Mungkin, dalam pencarian kita untuk menemukan arti, kita justru menemukan bahwa hidup ini memang kompleks. Tidak selalu ada jawaban yang jelas."

Badu, yang masih bingung, berkata, "Jadi kita kembali ke titik nol? Menjadi tak berarti lagi?"

Rijal menambahkan, "Mungkin kita harus menerima bahwa hidup ini bukan tentang mencari arti, tetapi tentang menjalani setiap momen dengan tulus, bahkan jika itu terasa biasa."

Kobar tersenyum kecut. "Jadi, kita akan terus melakukan hal yang sama? Hidup tanpa makna?"

Semua tertawa, meskipun sedikit pahit. Mereka menyadari bahwa meski hidup ini tidak selalu berarti, mereka masih memiliki satu sama lain. Dalam kebersamaan, mereka menemukan makna kecil yang terkadang terlewatkan.

Kisah mereka tentang pencarian arti hidup berakhir dengan tawa dan canda, di mana mereka sepakat bahwa meskipun hidup tidak selalu memiliki makna, persahabatan mereka adalah salah satu hal yang membuat perjalanan ini terasa berharga. Dan dengan itu, mereka melanjutkan hari mereka, menyadari bahwa bahkan dalam ketidakberartian, ada kekuatan dalam kebersamaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun