Kau duduk di kursi itu,Â
berbalut jas mahalÂ
dan janji-janji lamaÂ
yang masih hangat dari panggangan kampanye.Â
Matamu memandang jauh,Â
bukan ke arah kamiÂ
tapi ke layar-layar kosongÂ
yang menunggu tangkapan layar baru.
Di dalam gedung megah,Â
suara kami lenyapÂ
di antara palu sidang dan tepuk tangan palsu.Â
Kau bicara tentang kebebasanÂ
seperti puisi yang kehilangan rima,Â
semua kata melayangÂ
tanpa tempat mendarat.
Kami ada di luar jendela,Â
dalam hujan yang tak hentiÂ
mengguyur jalan-jalan berlubang,Â
di balik pintu-pintu terkunciÂ
yang kau sebut rumah kami.Â
Kami ada dalam sunyiÂ
yang tak pernah kau baca,Â
huruf-huruf yang kau abaikanÂ
di tepi berita utama.
Wakil rakyat,Â
tapi siapa yang kau wakili?Â
Apakah mereka yang bernyanyiÂ
di balik layar kaca,Â
atau mereka yang menungguÂ
di warung kopi murahan,Â
menghitung hari dengan segelas teh panasÂ
dan obrolan tak berujung tentang harga yang terus naik?
Di balik meja panjang itu,Â
kau menjadi bayang-bayangÂ
dari bayang-bayang yang lebih besar.Â
Kau menggambar garis besarÂ
tentang masa depanÂ
di atas peta yang telah pudar,Â
mengira kami tak melihatÂ
tanganmu yang gemetarÂ
saat menggenggam pena.
Di jalanan,Â
kami mencari arti dari kata "wakil",Â
dan "rakyat" terasa jauhÂ
seperti bintang yang hilang di balik awan tebal.Â
Namun, ingatlah:Â
saat topeng-topeng itu terjatuh,Â
tak ada yang bisa menahanÂ
suara kamiÂ
yang memecah malam.
Kau bicara tentang harapan,Â
tapi di sini,Â
kami hidup dengan kenyataanÂ
yang kau hindari,Â
dan saat tirai-tirai itu diturunkan,Â
mungkin baru kau tahu,Â
kami adalah ceritaÂ
yang tak pernah kau baca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H