Kebetulan, di rumah makan Bahrein terdapat menu Pindang Patin Asam Pedas, yang langsung saya pesan bersama sambal mangga, rujak mi, dan segelas jeruk nipis peras hangat.
Air jeruk nipis dan rujak mi terlebih dulu disajikan. Butuh waktu untuk memasak pindang ikan patin.
Selama menunggu, saya menjajal rujak mi, yang ternyata mi bercampur dengan bihun, pempek, tahu goreng, dan mentimun. Kuantitas mi mendominasi.
Setelah ditambahkan cuko, memakan rujak mi terasa tidak jauh berbeda dengan menyantap pempek. Gurih, manis, asam, pedas. Lumayan menambal ruang kosong di lambung.
Saya rasa, rujak mi tidak bisa disebut sebagai makanan umpan tekak (appetizer). Ia bisa dianggap semacam makanan utama (main course).
Hidangan berikutnya amatlah merangsang. Lupa bahwa perut sudah lumayan kenyang, saya ingin segera menyantap Pindang Patin Asam Pedas itu.
Sebetulnya, saya belum pernah merasakan nikmatnya makan patin. Pengalaman pertama dan terakhir menyantap patin bakar dalam bambu adalah di daerah Cimanggis, Depok.
Bumbunya asin. Asin keterlaluan yang membuat saya tidak ingin mencobanya lagi. Bahkan, saya enggan mencoba masakan berbahan ikan patin.
Maka. sempat ada keraguan ketika memesan pindang ikan patin di Bahrein, tapi keinginan merasakan kembali masakan pindang khas Palembang lebih menguasai. Mudah-mudahan lidah bisa menerima rasa daging patin.
Seruput sesendok kuah cokelat kemerahan, perlahan membangkitkan lagi ingatan tentang kelezatan masakan pindang ikan khas Palembang.