IA murung serupa mendung menggantung di langit dingin pada pagi ini. Murung, sebab banyak orang, terutama para pejabat kota, menyalahkannya sebagai penyebab banjir di beberapa kampung.
Hingga kini air menggenani permukiman warga, jalanan, taman-taman, dan banyak tempat di kota. Menerobos rumah-rumah warga menggenangi lantai, merendam televisi, sepeda motor, dan perabotan lainnya.
"Banjir akibat curah hujan ekstrem," kata pejabat kota yang berbicara di kantornya yang kering. Rumahnya juga terlindungi dari air.
"Banjir sebab kiriman air dari kota sebelah," ujar pejabat kota lainnya, yang malas membuat saluran lebih dalam untuk pembuangan air.
"Banjir lantaran warga membuang sampah sembarangan," tutur petinggi kota berbeda, yang terlambat mengeruk tumpukan sampah dan sedimentasi di sungai-sungai.
"Sudah, sudah, sudah! Jangan saling menyalahkan. Saluran-saluran pembuangan air kota tidak cukup menampung tumpahan dari hujan ekstrem," sabda pemimpin besar kota.
Pencari berita, warganet, dan orang awam berkerut kening, "Lho, kok tidak bikin drainase lebih dalam, lebih lebar, lebih panjang agar mampu menampung air hujan, sekalipun tumpahan dari hujan eksrem?"
"Tidak begitu, Ferguso! Ada banyak rencana-rencana rumit yang telah disampaikan dalam pidato-pidato, berdasarkan tumpukan peraturan daerah, peraturan menteri, peraturan presiden, Undang-Undang terkait penanganan banjir. Tahu normalisasi? Naturalisasi? Sumur Resapan?"
"Ya, tahu."
"Ya sudah, jangan berisik!"
"Lah, terus? Masalah banjir?"
"Nanti pada saatnya akan surut. Kalau sudah kemarau, tidak bakal ada yang meributkan banjir."
"... ??!!"
"Yang patut disalahkan, karena menjadi pihak paling bertanggung jawab dalam banjir, adalah itu .... Iya, pihak itu! Ia menumpahkan air melebihi daya tampung drainase existing. Dasar ekstremis yang tidak bisa menghitung kapasitas."
"Jadi?'
"Ayo kita tangkap! Masukkan bui agar ia tidak lagi menyebabkan banjir."
Demi mendengar pemimpin besar kota, para pejabat kota, aparat keamanan, satpol pp --warga kota tidak ikut-ikutan, mereka sibuk menghadapi banjir-- hendak mengeruduknya, maka hujan segera melarikan diri sejauh-jauhnya.
Meninggalkan kota dan mendung yang masih menggantung di langit. Selama pelariannya, hujan bertekad tidak menurunkan lagi air ke kota tersebut. Tidak akan!
Demikian, agar kota menjadi kering sekering-keringnya sehingga menyisakan kerontang selamanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI