IA murung serupa mendung menggantung di langit dingin pada pagi ini. Murung, sebab banyak orang, terutama para pejabat kota, menyalahkannya sebagai penyebab banjir di beberapa kampung.
Hingga kini air menggenani permukiman warga, jalanan, taman-taman, dan banyak tempat di kota. Menerobos rumah-rumah warga menggenangi lantai, merendam televisi, sepeda motor, dan perabotan lainnya.
"Banjir akibat curah hujan ekstrem," kata pejabat kota yang berbicara di kantornya yang kering. Rumahnya juga terlindungi dari air.
"Banjir sebab kiriman air dari kota sebelah," ujar pejabat kota lainnya, yang malas membuat saluran lebih dalam untuk pembuangan air.
"Banjir lantaran warga membuang sampah sembarangan," tutur petinggi kota berbeda, yang terlambat mengeruk tumpukan sampah dan sedimentasi di sungai-sungai.
"Sudah, sudah, sudah! Jangan saling menyalahkan. Saluran-saluran pembuangan air kota tidak cukup menampung tumpahan dari hujan ekstrem," sabda pemimpin besar kota.
Pencari berita, warganet, dan orang awam berkerut kening, "Lho, kok tidak bikin drainase lebih dalam, lebih lebar, lebih panjang agar mampu menampung air hujan, sekalipun tumpahan dari hujan eksrem?"
"Tidak begitu, Ferguso! Ada banyak rencana-rencana rumit yang telah disampaikan dalam pidato-pidato, berdasarkan tumpukan peraturan daerah, peraturan menteri, peraturan presiden, Undang-Undang terkait penanganan banjir. Tahu normalisasi? Naturalisasi? Sumur Resapan?"
"Ya, tahu."
"Ya sudah, jangan berisik!"