Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mulut-Mulut yang Dilakban

14 Januari 2025   06:10 Diperbarui: 14 Januari 2025   06:10 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mulut-mulut yang Dilakban (Gambar oleh Pexels dari Pixabay)

Merebak kabar: semua mulut warga Negara Pulau itu telah dilakban tanpa terkecuali, dari rakyat jelata, aparat, pejabat, hingga presiden.

***

Kokom bangkit dari lelapnya. Duduk sejenak di ranjang demi mengumpulkan nyawa masih berkelana, lalu melihat anaknya yang pulas.

Namun, ia terperanjat demi menemukan pada mulut anak semata wayangnya menempel lakban. Dengan perlahan dan berhati-hati, agar tidak membangunkan, ia menarik perekat lebar tersebut.

Tidak berhasil, meski telah melakukannya berulang kali. Lakban melekat terlalu kuat.

Perempuan itu segera menggoyang punggung suaminya, yang kemudian memutar tubuh dan membuka mata malas. Ternyata pada mulut suami menempel lakban.

Sang suami sekuat tenaga menarik lakban. Bukannya lepas, malah kulit ikut terkelupas. Dikhawatirkan, bila dipaksakan boleh jadi kulit sekitar mulut berikut dua potong bibir ambrol, lepas dari rahang dan menempel pada perekat.

Kokom berusaha menggerakkan mulut hendak mengeluarkan suara. Tak bisa. Mulutnya juga dilakban.

Pasangan itu memeriksa pintu-pintu, jendela-jendela, langit-langit, dan apapun yang bisa terbuka, kalau-kalau ada orang menerobos. Tidak ada tanda-tanda.

Mereka keluar. Matahari sudah bangun menyoroti para tetangga yang berkumpul bingung. Lagi-lagi, pada mulut mereka melekat lakban.

"Mmm ... mmmm ...!" Seseorang mengeluarkan suara yang terdengar bagaikan sedang mengunyah permen karet.

Lawannya menarik urat leher. Tetap saja yang terdengar hanya gumaman tak jelas, "Mmm ... mmmmm ...!!!"

Seorang anak muda mengambil kertas, lalu membuat huruf dengan spidol: PAK ERTE.

"Mmm ... mmm ... mmm," jawab warga. Artinya, ya ... ya ... ya.

Ke rumah Pak Erte mereka menjumpai hal sama. Mulut sekeluarga dilakban. Demikian pula ketika ke tempat tinggal Pak Erwe, juga Lurah beserta pegawainya, dan seterusnya. Mulut-mulut yang dilakban.

Siang hari merebak kabar bahwa semua mulut warga Negara Pulau telah dilakban tanpa terkecuali. Rakyat jelata, perangkat desa, aparat, pegawai pemerintah dan swasta, bupati, walikota, gubernur, dirjen, menteri, hingga presiden tak bisa bicara.

Ya itu, karena pada mulut semua orang dilakban. Perekat lebar yang tidak bisa dicopot dengan tenaga maupun bahan kimia.

Mereka riuh "ber-mmm" menggunakan bahasa isyarat, kebingungan menghadapi serangan misterius itu. Warga lainnya menggunakan kertas, aplikasi media sosial sebagai alat komunikasi, berupaya mencari tahu penyebab dan pelaku pelakbanan.

Namun, misteri mulut-mulut dilakban tetap tidak terungkap. Kasus ini jadi perbincangan hangat dan kian hangat di jagat maya, sampai-sampai mereka saling merundung satu sama lain saking putus asanya.

Makanan dan minuman tidak bisa masuk. Terpaksa mereka menginfus tubuh untuk asupan energi.

Seperti biasa, harga cairan infus itu melangit. Pedagang besar menangguk untung besar. Praktik lumrah di Negara Pulau, selalu ada pihak nirempati mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Paling tidak, malam hari penduduk negara pulau bisa tidur dengan gelisah menahan lapar. Sebagian mencurahkan hati kepada mesin kecerdasan buatan (AI) atas pelakbanan mulut-mulut.

Pada keesokan hari, cuaca cerah. Tak berawan. Angin sepoi-sepoi. Ombak menari-nari gemulai di tepi pantai. Laut tampak tenang, tapi, tapi ..., sebuah pemandangan menggetarkan membuat warga menganga. 

Mereka mendekati tepi laut demi melihat lebih jelas. Kurang lebih satu mil dari garis pantai tampak sebentuk pagar memanjang. Tidak terdeteksi berapa bujur jauhnya.

Beberapa orang menaiki perahu. Memeriksa lebih dekat. Ternyata pagar terdiri dari bilah-bilah bambu yang ditancapkan ke dasar. Kemudian mereka menyadari, betapa panjang pagar bambu serupa jembatan sempit itu. Kira-kira puluhan kilometer.

Misterius! Padahal rasanya kemarin belum ada, sekarang ada pagar. Butuh tenaga dan biaya luar biasa besar untuk membangun bangunan seperti itu dalam waktu semalam.

Bandung Bondowoso? Jangan terlalu berpikir terlalu jauh! Ia hanya ada di dalam cerita legenda yang bukan kenyataan sejarah.

Keberadaan pagar laut menjadi teka-teki baru, setelah misteri mulut-mulut dilakban.

Lantas, siapa yang menancapkan bambu-bambu ke dasar laut? Atau, siapa yang demikian kaya dan berkuasa telah menyuruh membuat pagar itu?

Jangan bertanya ke rakyat, aparat, pejabat, hingga presiden dari Negara Pulau yang bungkam karena mulut-mulut mereka dilakban. Tanyalah kepada ... anu. Ya, anu!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun