"Mmm ... mmmm ...!" Seseorang mengeluarkan suara yang terdengar bagaikan sedang mengunyah permen karet.
Lawannya menarik urat leher. Tetap saja yang terdengar hanya gumaman tak jelas, "Mmm ... mmmmm ...!!!"
Seorang anak muda mengambil kertas, lalu membuat huruf dengan spidol: PAK ERTE.
"Mmm ... mmm ... mmm," jawab warga. Artinya, ya ... ya ... ya.
Ke rumah Pak Erte mereka menjumpai hal sama. Mulut sekeluarga dilakban. Demikian pula ketika ke tempat tinggal Pak Erwe, juga Lurah beserta pegawainya, dan seterusnya. Mulut-mulut yang dilakban.
Siang hari merebak kabar bahwa semua mulut warga Negara Pulau telah dilakban tanpa terkecuali. Rakyat jelata, perangkat desa, aparat, pegawai pemerintah dan swasta, bupati, walikota, gubernur, dirjen, menteri, hingga presiden tak bisa bicara.
Ya itu, karena pada mulut semua orang dilakban. Perekat lebar yang tidak bisa dicopot dengan tenaga maupun bahan kimia.
Mereka riuh "ber-mmm" menggunakan bahasa isyarat, kebingungan menghadapi serangan misterius itu. Warga lainnya menggunakan kertas, aplikasi media sosial sebagai alat komunikasi, berupaya mencari tahu penyebab dan pelaku pelakbanan.
Namun, misteri mulut-mulut dilakban tetap tidak terungkap. Kasus ini jadi perbincangan hangat dan kian hangat di jagat maya, sampai-sampai mereka saling merundung satu sama lain saking putus asanya.
Makanan dan minuman tidak bisa masuk. Terpaksa mereka menginfus tubuh untuk asupan energi.
Seperti biasa, harga cairan infus itu melangit. Pedagang besar menangguk untung besar. Praktik lumrah di Negara Pulau, selalu ada pihak nirempati mengambil kesempatan dalam kesempitan.