Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Romeli Ingin Menjadi Orang Sakti

13 Januari 2025   06:03 Diperbarui: 13 Januari 2025   06:46 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Romeli Ingin Sakti (Gambar oleh Use at your Ease dari Pixabay)

BELAKANGAN situasi perekonomian tidak mendukung. Sulit mencari kerja. Kompetisi usaha kian ketat. Kota metropolitan serupa medan perang persaingan. Siapa kuat, menang.

Kota besar untuk pemilik kuasa dan harta. Tidak untuk yang terperosok ke dalam lubang kemiskinan. Lihat saja, pejabat naik mobil mewah pelat merah menerobos kemacetan berkat arogansi pengemudi motor pembuka jalan. Warga biasa mesti minggir memberikan ruang kepada pelayan rakyat.

Mereka dengan kelimpahan menikmati mulusnya jalan dari dalam mobil berudara dingin dan beruangan senyap. Sebagiannya akan menodongkan senjata demi merebut jalan dari pengguna lainnya.

Sedangkan warga kelas menengah, apalagi menengah bawah, yaitu mereka berpenghasilan pas-pasan untuk membayar cicilan dan biaya-biaya harian penyambung hidup, bersusah payah menerobos macet menggunakan sepeda motor atau mobil sejuta umat, berlari mengejar jadwal angkutan umum.

Sesekali mereka menyatakan kepada dunia semu bahwa sanggup makan mahal di restoran mahal. Padahal, biasa makan siang di warung tenda amigos (agak minggir got sedikit) dekat kantor.

Kalangan di bawah kelas menengah tidak diceritakan di sini. Terlalu banyak menghadirkan air mata bila mengisahkan kehidupan kelompok marginal itu, yang hanya diingat dan diberi bingkisan calon pejabat pada lima tahun sekali.

Romeli berada di kelas menengah bawah. Setiap saat bisa saja terjerembap ke dalam golongan terpinggirkan, berhubung kondisi keuangannya sangat merosot sejak termasuk dalam barisan pengurangan pegawai sebuah perusahaan swasta. Upaya melamar pekerjaan ke berbagai perusahaan hanya menemui gerbang besi tertutup.

"Untuk saat ini tidak ada lowongan kerja," ujar petugas keamanan.

Dengan modal pesangon yang tidak seberapa jumlahnya, pria pengontrak rumah petak di Kampung Melayu itu membuka usaha, mengikuti tren usaha dari mereka yang telah lebih dahulu di-PHK.

Keberhasilan usaha baginya serupa perempuan berpupur terlalu tebal, yang dari tubuhnya berhamburan wangi, agar menarik pelanggan di lampu merah. Romeli memiliki pengalaman nihil untuk bisa mengurai benang kusut usaha.

Bisa ditebak, uang pesangon menyusut dengan cepat. Semangat berbisnis Romeli pun laksana air laut surut menjauhi garis pantai. Sebelum berdarah-darah, pria tersebut menghentikan usaha.

Satu ketika Romeli menyampaikan gagasan kepada istrinya, "Yang, aku akan ngelmu!"

Mata Romlah membelalak, menampakkan pesona alami yang pernah membuat Romeli bersaing dengan banyak laki-laki dalam perebutan cinta. Bibir tipisnya setengah terbuka meluncurkan badai tiada henti, "Sekolah lagi? Untuk apa? Tabungan sudah tipis!"

"Bukan begitu."

"Sekolah gratis? Lagian, emang dengan sekolah duit bakal dateng? "

Kegusaran perempuan belum beranak itu sangat menggairahkan. Siapa pun pria akan melumatnya hingga habis. Sayang Romeli berada dalam keadaan tidak tepat.

"Aku ngelmu ke Mas Agus. Aku ... aku ingin jadi orang sakti seperti Mas Agus"

"Agus? Lagi-lagi Agus!!"

"Tapi, Yang ...."

"Mending cari kerja. Atau ngojek, dapet lima puluh ribu sehari juga gak apa-apa."

"Tapi ... tapi ...."

"Terserah kamu dah ...! Aku cari kerja saja."

Berbekal ransel isi baju, pengisi baterai ponsel, dan uang sekadarnya Romeli pergi. Semua kebutuhan makan, minum, biaya menginap, bahkan rokok ditanggung oleh Mas Agus selama bersamanya.

Romeli naik angkutan umum menuju raumah Mas Agus daerah di tepi kota. Beberapa hari ia mendapatkan pembekalan, tentang makna pengolahan spiritual untuk membangkitkan potensi akal dan batin melalui pencarian diri sejati.

Mas Agus memiliki keistimewaan. Bisa menerawang: membaca pikiran, masa lalu, dan masa depan seseorang. Oleh karena itu, orang-orang mendatanginya untuk memperoleh solusi spritual atas permasalahan. Semakin laris menjelang Pilkada. Mungkin juga mendekati Pilpres, siapa tahu?

Laris? Iya, banyak orang mendatangi atau mengundanghnya. Atas saran-saran dan solusi sakti, tentu saja, Mas Agus mendapatkan amplop. Tak perlu tahu isinya, yang jelas kehidupannya amatlah makmur untuk ukuran lingkungan tempat tinggalnya.

Untuk itulah Romeli ingin belajar sakti dari Mas Agus.

Dalam pengolahan spiritual seseorang harus pasrah, mengosongkan pikiran dari rasa ingin, dan berusaha membangkitkan jiwa murni. Perlu latihan dan kunjungan ke tempat keramat atau dianggap angker. Bukan untuk memuja penunggu tempat itu, tapi melakukannya demi mendapatkan lingkungan hening. Bagi Romeli, demi mengikis rasa takut.

Latihan pertama adalah memusatkan akal dan rasa, dengan duduk bersila dan meletakkan kaki secara bersilang pada paha. Posisi punggung tegak dan mengambil napas dalam, menyimpannya di dasar perut beberapa saat, lalu mengeluarkan perlahan dari mulut. Setelah dirasa cukup membuang energi negatif, mata memejam untuk memusatkan perhatian dan merasakan alunan napas.

Tidak mudah bagi Romeli yang tidak terbiasa tenang. Namun, sekian kali latihan membuatnya bisa merasakan hening pikiran.

Setelah pembekalan dirasa cukup, Mas Agus mengajak Romeli melakukan perjalanan spiritual. Di keheningan tempat-tempat angker mereka bertapa. Lama kelamaan Romeli terbiasa, tidak lagi takut akan munculnya hantu.

Puncak pengalaman batin terjadi pada sebuah pertemuan dua sungai berarus deras, tempuran penghasil energi dan oksigen tinggi. Saat bertapa, Romeli merasa dirinya lenyap. Suara gelegar tempuran tidak terdengar.

Ia melayang-layang. Setelah menikmati pengalaman menenangkan itu, sukma Romeli kembali ke tubuhnya yang sedang bersila. Perlahan gelegar air terdengar.

Tak lama Mas Agus berbisik, "Selamat, Mas Romeli telah lulus ujian."

"Artinya?"

"Mas Romeli sekarang bisa menerawang."

"Jadi ...?

"Alam menyimpan rekaman kehidupan. Membaca seseorang adalah membaca rekaman kehidupannya. Memang tidak terang benderang seperti nonton Netflix. Samar. Akal budi kitalah yang memaknai gambar-gambar. Aku percaya, kamu memiliki kecerdasan untuk itu, jauh lebih baik dari dukun tradisional."

"Oh, begitu," Romeli tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya.

"Tetap harus dilatih. Untuk menjaga ketajamannya, maka pisau harus diasah secara berkala. Nanti aku ajarkan ritual lain agar menambah kemampuan penerawangan."

Demikian, Romeli sudah memperoleh kesaktian, mampu menembus pikiran dan kehidupan di sekitar seseorang. Namun, perlu latihan lanjutan agar bisa memberikan solusi atas permasalahan "pasien" yang datang.

Bagaimana latihan selanjutnya? Temui Mas Agus untuk mendapatkan rahasianya.

Seolah tidak sengaja, tapi "dibuat" sengaja oleh Mas Agus, percobaan pertama datang. Seorang pria berwajah kusut mendatangi rumah Mas Agus. Katanya, hendak berkonsultasi. Namun, pemilik rumah sedang pergi. Mau tidak mau Romeli menemani dan berbincang.

Mas Agus tidak datang juga, sekalipun jarum jam dinding bergerak ke angka berikutnya. Selama berbincang, Romeli merasakan, tepatnya, menampak kelebatan-kelebatan acak menyerupai sosok wanita. Kecerdasan Romeli kemudian bekerja. Tak lama terasa bahwa mulut bergerak, seperti hendak menyampaikan sesuatu.

Tanpa dapat ditahan, sebab sesuatu yang hendak disampaikan bisa jadi menyinggung perasaan pria tersebut, mulut mengeluarkan tanya, "Ada masalah di rumah? Misalnya, dengan istri?"

Pria tersebut menutupi keterperanjatannya dengan berkata, "Ah, sok tahu si Bapak ini!'

Romeli tak perduli, ia terus mencerocos. Menyebut ciri fisik sang wanita, sampai letak andeng-andeng di antara buah dadanya. Sontak, pria itu lemas. Sejenak. Kemudian ia menumpahkan segala rahasia.

Pengungkapan atas sifat dan desakan sang istri, agar pria tersebut segera mencari jalan keluar atas kesulitan keuangan sedang dihadapi, membuat pria itu tersedu-sedu.

Merasa berada di perahu sama, Romeli menunjukkan empati dan memberikan nasihat-nasihat, belum berupa solusi. Kelegaan perlahan memancar, lalu pria tersebut berpamitan tanpa meninggalkan amplop. Tak mengapa, batin Romeli.

Tidak lama kemudian Mas Agus datang sambil senyum-senyum, "Sudah beres?"

Setelah dirasa cukup, tiba waktu untuk permisi. Romeli mengucapkan terima kasih dan berjanji datang kembali. Juga tidak meninggalkan amplop.

Dalam perjalan pulang ia mampir ke kantor temannya. Ada tamu lain di ruangan kerja, sepertinya mereka ngobrol santai sehingga kedatangan Romeli bukanlah gangguan.

Bertiga berbincang seru, sampai mendadak Romeli melihat kelebatan-kelebatan di sekitar pria baru dikenalnya, namanya Salim.

Mulut mencerocos tanpa dapat ditahan, membongkar rahasia sang tamu, tanpa temannya mengetahui makna dan memahami sebagai gurauan biasa. Wajah Salim merah padam, sesekali menunduk. Ia gelisah hingga perjumpaan usai.

Temannya menelpon pada keesokan hari, "Pak Salim menanyakan nomor telepon Mas Romeli. Boleh dikasih?'

Tentu saja Romeli lantas mengiayakan. Wajahnya berseri sampai ia melihat istrinya bersiap-siap hendak pergi. Romlah tampak cantik, lebih cantik daripada yang ia kenal sebelumnya. Tubuhnya menguarkan wangi melati.

"Mau ke mana?"

"Ada pekerjaan yang harus diselesaikan."

Romeli tidak bisa berbuat apa-apa, saat ini kebutuhan rumah tangga dipenuhi oleh Romlah. Entah bagaimna, bekerja atau menjalankan usaha? Takada cerita, Ia melepas keberangkata istrinya dengan hati gundah.

Mendadak Romeli melihat kelebatan-kelebatan di sekitar tubuh istrinya. Kabut putih. Fragmen-fragmen. Sosok-sosok. Kelap-kelip. Ketawa-ketiwi. Pelukan. Dan ....

Romeli mendadak lemas. Ia terduduk. Menunduk. Kedua tangannya menutup wajah. Bahunya berguncang.

***

BIODATA: Suka menulis cerpen. Satu karya dimuat di antologi cerpen "Kuliah Kerja Ngonten: dari Serem ke Sayang, dari Ketawa ke Bimbang" tebitan Elex Media Komputindo. Pemenang I Sayembara Cerpen Pulpen XXI. Pemenang II Sayembara XXII.

Foto diri (dokumen Budi Susilo)
Foto diri (dokumen Budi Susilo)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun