Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kebakaran Hebat sebab Ritsleting

4 Januari 2025   06:05 Diperbarui: 4 Januari 2025   06:05 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kebakaran hebat melanda rumah semi permanen.(KOMPAS.com/ SHINTA DWI AYU)

Bukan korsleting ya, melainkan karena ritsleting! R.I.T.S.L.E.T.I.N.G.

Kebakaran hebat terjadi lantaran ritsleting macet. Gara-gara ritsleting yang tak berfungsi baik, maka kebakaran hebat melanda sebuah rumah semi permanen. Meluluhlantakkannya.

Selain menghancurkan bangunan, api menggosongkan satu penghuni yang telah ditinggal istri dan anak-anaknya, atau malahan pria itu yang meninggalkan istri dan anak-anaknya. Entah mana yang betul.

Dengan tubuh masih berasap-asap, bertumpu pada dua telapak kaki di pinggiran awan, pria gosong melipat kedua lutut, berpangku tangan memandang tanah ke rumahnya yang puing. Terbit sesal demi sesal, tapi film kehidupan tidak dapat diputar ulang.

Seseorang berbaju serba putih yang tidak gosong, yang kelak menjadi teman baru, menepuk pundak pria gosong. Serta merta sebagian bahu rapuh runtuh, serupa steik terlalu well done.

"Sudahlah! Yang sudah, sudah."

Pria gosong menarik napas, "Gara-gara sleting ransel, semuanya habis."

Sepertinya, teman serba putih mantan konsultan kejiwaan. Dengan penuh simpati ia mendengarkan segala keluh pria gosong.

Dengan itu pula ia merunut kembali cerita tak beraturan dari pria gosong, yang kadang melantur dari pokok pembicaraan, dan mengikhtisarkan pokok-pokok kisah.

Begini.

O iya, perlu diinformasikan bahwa perbincangan di antara mereka tidak terdeteksi oleh telinga manusia biasa, kecuali yang memiliki kepekaan.

Alkisah, seorang tetangga menghibahi pria yang semula belum gosong itu sebuah ransel hitam berkelim merah.

Kondisi tas bagus. Jahitan masih utuh. Warna belum pudar. Sepertinya, sang pemilik belum atau jarang menggunakannya.

Masalahnya, saking lama tersimpan maka ritsleting utama maupun di kantong depan pada macet. Mereka tidak bergeser, kendati pria yang semula belum gosong menarik-nariknya.

Tidak menyerah begitu saja, ia meneteskan minyak bekas menggoreng ke gerigi ritsleting. Bau ikan asin menguar, tetapi kepala penutup ransel itu enggan bergeser.

Ia bangkit, menuju sepeda motor di bilik tamu tanpa meja kursi.

Sebetulnya, ruang itu terbentuk karena disekat tripleks. Rumah petak itu tadinya blong. Jadi sekarang ada ruang tamu, kamar, sepotong dapur. Paling belakang dan sudah memakai dinding batako adalah kamar mandi tanpa pintu.

Pria yang semula belum gosong memutar tutup oli mesin. Memasukkan sapu lidi agar cairan hitam kental ikut bersamanya. Dengan cepat ia membawa ke ransel, meneteskannya ke gerigi ritsleting.

Ia mengulang perbuatannya beberapa kali. Meski sudah dilumasi, ritsleting tidak juga bisa digerakkan.

Persoalan bertambah. Aroma ikan asin berganti dengan bau sangit. Oli membasahi terpal pembentuk ransel. Kotor, lengket, dan licin.

Pria yang semula belum gosong mengelap tangan tercemar. Bangkit lagi untuk menyedot bensin sepeda motor. Dengan minyak mudah menguap ia membersikan noda oli dari ransel. Seketika gas menyengat memenuhi ruang pengap.

Ransel kembali bersih, kendati masih agak basah. 

Ritsleting tetap tidak mau bergeser, sekalipun sudah diberi beragam pelumas dan dicuci dengan bensin. Penyebab macet tidak rontok juga.

Jalan terakhir, menurut nalar pria yang semula belum gosong, adalah memanaskannya. Pemanasan akan membuat sebuah materi menggembung. Teorinya, di antara kepala dan gigi ritsleting akan berongga, yang memudahkan pembuat macet atau apa pun itu bergulir keluar.

Harapannya, upaya membuka ritsleting menjadi lebih mudah, lancar selancar lancarnya bagaikan berkendara di jalanan pada tanggal 1 Januari 2025 pagi.

Pemikiran cerdas kemudian mendorong tangan pria yang semula belum gosong merogoh saku celananya, mengambil sesuatu, lalu mendekatkan ke ritsleting.

Menggunakan ibu jari ia memutar roda pemantik batu api. Menyala. Senyum mengembang. Sejenak. Hanya sepersekian detik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun