Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Mie Kocok, Cocok Disantap kala Langit Murung

2 Januari 2025   06:05 Diperbarui: 2 Januari 2025   10:40 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semangkuk mie kocok (dokumen pribadi Budi Susilo)

LANGIT MURUNG di hampir sepanjang Desember lalu. Lebih dari dua pekan saya tidak keluar rumah untuk olahraga pagi.

Mendung menurunkan hujan ketika semestinya matahari memancarkan kehangatan pagi. Ditambah, kondisi kesehatan pada waktu itu sedang tidak baik-baik saja. Pilihannya, berbaring dan berselimut demi meredakan demam.

Tetapi tidak selamanya cuaca mengantarkan dingin dan becek. Jelang waktu penutupan tahun 2024 matahari memancarkan cahaya, meski masih malu-malu. Bumi menghangat. 

Tiba waktunya bagi saya mencari keringat di luar rumah, sembari menggeretakkan tulang belulang beku.

Sabtu 28 Desember 2024 pagi yang tidak hujan, saya berjalan menjauhi pintu rumah menuju trotoar. Takada tujuan khusus selain dari olahraga jalan pagi. Sarapan, sudah. Dengan mie glosor, penganan khas Bogor yang terbuat dari tepung tapioka.

Jalan punya jalan, petualangan pagi melebar ke RTH Taman Manunggal, Kota Bogor. Lanjut ke Pasar Merdeka cari-cari dan beli sayur segar, akhirnya terpikir meneruskan penjelajahan hingga waktu makan siang.

Di dalam pikiran terbersit hanya satu jenis hidangan hendak disantap: makanan berkuah! Satu keinginan yang menggebu-gebu ketika meringkuk sakit menahan dingin, menyantap hidangan berkuah hangat nan bening tidak bersantan.

Beragam pilihan. Paling mudah, ya bakso. Atau soto mie, soto Lamongan, sup buntut. Bingunglah jadinya.

Saat melewati Jalan Mawar, teringat mie kocok. Puluhan tahun yang lalu mangkal penjual mie kocok isi kikil, di dekat sebuah bangunan gardu listrik buatan Belanda. 

Mie kocok lebih dikenal sebagai jajanan khas Kota Bandung. Namun, bukan berarti tidak ada di Kota Bogor, kendati tidak selumrah bakso. Saya mengetahui keberadaan mie kocok itu sejak kepindahan keluarga ke Kota Hujan di tahun 1980.

Waktu itu, atas permintaan almarhum Bapak, saya beberapa kali membawa rantang dan membeli mie kocok Jalan Mawar.

Sebelum ditempatkan di wadah, mie kuning, sayur, dan kikil dimasukkan ke wadah berlubang yang bergagang, lalu dicelup-celupkan ke kaldu sapi berempah di dalam dandang. Bisa jadi nama mie kocok berasal dari proses itu.

Sekian puluh tahun kemudian saya masih jajan mie kocok, yang kini terletak di seberangnya, di mulut Jalan Semboja. Selain kikil, tambahan topping adalah bakso dan potongan daging ayam kampung.

Rasanya? Kuah hangat dan isiannya membangkitkan selera. Ditambah sambal dan perasan jeruk, membuat lidah tidak sempat berhenti mengunyah, kecuali tiada lagi kuah dapat diciduk.

Masalahnya, warung tenda penjualan mie kocok tersebut baru buka pada sore hari. Terlalu lama bila manyun di situ menunggu warung buka.

Tak lama-lama berpangku tangan, saya melanjutkan perjalanan ke Jembatan Merah, turun menuju ke Jalan Veteran/Panaragan menuju sebuah warung bakso.

Sebetulnya, tidak perlu pergi sejauh 2,3km dari rumah untuk sekadar mencicipi bakso. Ada beragam pilihan di sekitar tempat tinggal.

Pilihan warung di halaman sebuah apotek dan toko swalayan itu bukan tanpa alasan kuat. Menurut hemat saya, bakso Panaragan sangatlah istimewa. Sangat pantas dinikmati, karena ia merupakan bakso paling enak sekota Bogor. Coba aja! Letaknya tidak jauh dari Stasiun Bogor.

Spanduk yang menghentikan langkah (dokumen pribadi Budi Susilo)
Spanduk yang menghentikan langkah (dokumen pribadi Budi Susilo)

Namun, sebuah tulisan pada spanduk sebuah gerai menghentikan langkah. Membatalkan rencana ke warung bakso dimaksud. Pada spanduk kuning tercetak: Mie Kocok Pak Husen. Cocok nih!

Tanpa pikir-pikir, saya langsung masuk, duduk, dan memesan mie kocok komplit. Minumnya, teh tawar hangat gratisan.

Penjual meracik hidangan. Memasukkan mie, sayur, dan bahan lain ke dalam konclongan (wadah alumunium yang berlubang-lubang dan bergagang), mencelup-celupkannya ke dandang isi kuah mendidih, lalu menempatkannya di mangkuk. Menyajikannya setelah menambahkan bawang goreng.

Penjual meracik mie kocok (dokumen pribadi Budi Susilo)
Penjual meracik mie kocok (dokumen pribadi Budi Susilo)

Pak Husen sudah tiada. Penerus usaha penjualan mie kocok adalah putranya. Menurut pengakuannya, usaha dimulai dari tahun 1998. Buka pukul 10, beres-beres meja puku 20.00 WIB.

Baiklah. Langsung saja. Di hadapan terhidang semangkuk mie kocok, terdiri dari mi kuning (lebih kenyal dari bahan mie ayam), kecambah (tauge), sawi (caisim), empat butir bakso, keratan tipis serong daging ayam kampung, potongan kikil, bawang goreng, dan irisan seledri.

Pelengkap yang tersedia di meja adalah serantang larutan sambal cabai rawit hijau, cuka makan, merica, kecap, keripik pangsit, dan jeruk limau dibelah.

Sambal dan lainnya tidak perlu diterangkan lagi, penambahannya disesuaikan dengan selera. Satu hal istimewa yang perlu diceritakan adalah jeruk limau (limo, jeruk sambal). Kucuran air limau akan memperkaya cita rasa dan aroma mie kocok.

Kuah panasnya menerbangkan aroma merangsang, menyerang hidung, merambat melalui saraf, dan membangkitkan nyaman di dalam pusat rasa. Ini mendorong tangan untuk menyendok kuah berkepul-kepul.

Kaldu yang dibuat dari rebusan daging bersama rempah dalam jangka waktu sangat cukup, saya kira sampai reduce (proses pengentalan dan penguatan rasa kaldu; ket-ket dalam Bahasa Madura), amatlah panas.

Menyantap mie kocok Pak Husen adalah menikmati kekayaan rasa makanan berkuah. Kaldu panas, isian (kikil, bakso daging, ayam), sayur, mie kenyal, dan beragam kondimen membentuk kombinasi rasa gurih yang utuh dan tidak membosankan.

Tidak laksana makanan berkuah dibubuhi micin yang biasanya membuat enggan untuk menghabiskannya, mie kocok Pak Husen tidak terasa ada tambahan penyedap buatan. 

Kalaupun ada, sedikit. Tidak terdeteksi oleh lidah saya yang sensitif dengan hidangan ber-MSG artifisial.

Buktinya, saya menikmati sajian mie kocok itu sampai dengan titik kuah penghabisan. Sajian berkaldu bernama mie kocok ini sesuai dengan keinginan awal.

Hidangan berkuah panas yang cocok disantap saat langit sedang murung. 

Tidak rugi menarik uang Rp34.000 dari saku demi menukar semangkuk mie kocok, yang menghadirkan rasa nyaman dan enak. Restoratif, memberikan tenaga baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun