Waktu itu, atas permintaan almarhum Bapak, saya beberapa kali membawa rantang dan membeli mie kocok Jalan Mawar.
Sebelum ditempatkan di wadah, mie kuning, sayur, dan kikil dimasukkan ke wadah berlubang yang bergagang, lalu dicelup-celupkan ke kaldu sapi berempah di dalam dandang. Bisa jadi nama mie kocok berasal dari proses itu.
Sekian puluh tahun kemudian saya masih jajan mie kocok, yang kini terletak di seberangnya, di mulut Jalan Semboja. Selain kikil, tambahan topping adalah bakso dan potongan daging ayam kampung.
Rasanya? Kuah hangat dan isiannya membangkitkan selera. Ditambah sambal dan perasan jeruk, membuat lidah tidak sempat berhenti mengunyah, kecuali tiada lagi kuah dapat diciduk.
Masalahnya, warung tenda penjualan mie kocok tersebut baru buka pada sore hari. Terlalu lama bila manyun di situ menunggu warung buka.
Tak lama-lama berpangku tangan, saya melanjutkan perjalanan ke Jembatan Merah, turun menuju ke Jalan Veteran/Panaragan menuju sebuah warung bakso.
Sebetulnya, tidak perlu pergi sejauh 2,3km dari rumah untuk sekadar mencicipi bakso. Ada beragam pilihan di sekitar tempat tinggal.
Pilihan warung di halaman sebuah apotek dan toko swalayan itu bukan tanpa alasan kuat. Menurut hemat saya, bakso Panaragan sangatlah istimewa. Sangat pantas dinikmati, karena ia merupakan bakso paling enak sekota Bogor. Coba aja! Letaknya tidak jauh dari Stasiun Bogor.
Namun, sebuah tulisan pada spanduk sebuah gerai menghentikan langkah. Membatalkan rencana ke warung bakso dimaksud. Pada spanduk kuning tercetak: Mie Kocok Pak Husen. Cocok nih!
Tanpa pikir-pikir, saya langsung masuk, duduk, dan memesan mie kocok komplit. Minumnya, teh tawar hangat gratisan.