Penjual meracik hidangan. Memasukkan mie, sayur, dan bahan lain ke dalam konclongan (wadah alumunium yang berlubang-lubang dan bergagang), mencelup-celupkannya ke dandang isi kuah mendidih, lalu menempatkannya di mangkuk. Menyajikannya setelah menambahkan bawang goreng.
Pak Husen sudah tiada. Penerus usaha penjualan mie kocok adalah putranya. Menurut pengakuannya, usaha dimulai dari tahun 1998. Buka pukul 10, beres-beres meja puku 20.00 WIB.
Baiklah. Langsung saja. Di hadapan terhidang semangkuk mie kocok, terdiri dari mi kuning (lebih kenyal dari bahan mie ayam), kecambah (tauge), sawi (caisim), empat butir bakso, keratan tipis serong daging ayam kampung, potongan kikil, bawang goreng, dan irisan seledri.
Pelengkap yang tersedia di meja adalah serantang larutan sambal cabai rawit hijau, cuka makan, merica, kecap, keripik pangsit, dan jeruk limau dibelah.
Sambal dan lainnya tidak perlu diterangkan lagi, penambahannya disesuaikan dengan selera. Satu hal istimewa yang perlu diceritakan adalah jeruk limau (limo, jeruk sambal). Kucuran air limau akan memperkaya cita rasa dan aroma mie kocok.
Kuah panasnya menerbangkan aroma merangsang, menyerang hidung, merambat melalui saraf, dan membangkitkan nyaman di dalam pusat rasa. Ini mendorong tangan untuk menyendok kuah berkepul-kepul.
Kaldu yang dibuat dari rebusan daging bersama rempah dalam jangka waktu sangat cukup, saya kira sampai reduce (proses pengentalan dan penguatan rasa kaldu; ket-ket dalam Bahasa Madura), amatlah panas.
Menyantap mie kocok Pak Husen adalah menikmati kekayaan rasa makanan berkuah. Kaldu panas, isian (kikil, bakso daging, ayam), sayur, mie kenyal, dan beragam kondimen membentuk kombinasi rasa gurih yang utuh dan tidak membosankan.
Tidak laksana makanan berkuah dibubuhi micin yang biasanya membuat enggan untuk menghabiskannya, mie kocok Pak Husen tidak terasa ada tambahan penyedap buatan.Â
Kalaupun ada, sedikit. Tidak terdeteksi oleh lidah saya yang sensitif dengan hidangan ber-MSG artifisial.