HUTAN LEBAT. Pemburu soliter perlahan merendahkan tubuh. Merunduk. Mengendap tanpa menggesek belukar dan ilalang. Mata tajamnya menatap buruan di jarak dua puluh meter.
Tujuh belas ..., lima belas ..., dua belas meter lebih dekat. Kurang dari tujuh meter ia menarik napas. Mengambil ancang-ancang. Mengentakkan kaki.
"Krosaaak ..., bruuuk ...!!!
Secara tidak disangka-sangka dan tanpa memperhitungkannya, karena memang berada di luar jangkauan pengetahuannya, mendadak ia terperosok ke lubang berdinding tanah setinggi dua meter.
***
Pada kala itu, di pekatnya malam tanpa sinar rembulan pun bintang, pemburu soliter sedang menjelajah hutan yang tumbuhannya makin berkurang. Hewan buruan pun berangsur menghilang.
Meskipun demikian, mau tidak mau ia harus berburu, di derah hutan lebat dataran rendah --di mana terdapat rawa-rawa dangkal dengan endapan tanah basah, lunak, berlumut, dan penuh dedaunan membusuk. Atau, menjelajahahi hutan hujan di pegunungan.
Badannya tersamar ketika menyelinap di semak dan alang-alang. Seluruh tubuhnya tertutup loreng dengan garis-garis hitam tegak saat mengendap.
Ia mengejar hewan buruan secara selektif. Untuk makan belaka, bagi diri dan anak-anaknya. Tidak asal tangkap. Tidak serakah dengan berburu lebih banyak demi tujuan keuntungan belaka.
Sendiri dalam melakukan perburuan. Pemburu yang soliter. Pemburu yang tidak berkelompok.
Bila berkelompok, berarti pembagian hasil buruan jadi sedikit, manakala sekarang jumlah hewan buruan kian terbatas, lantaran luas hutan yang kian berkurang.
Hutan luas dan lebat merupakan ekosistem bagi beragam kehidupan. Dan, secara turun temurun menjadi sumber penghidupan wajar. Luas hutan berkurang adalah masalah besar baginya.
Ditambah, pada daerah tertentu telah dipasang tanaman berduri secara memanjang. Tidak bisa diputus.
Bahkan, bila memaksa menembusnya, badan akan luka. Celaka bila tersangkut dan tidak mampu melepaskan diri. Bisa kehausan, kelaparan, malahan bisa mati membusuk.
Hutan pun makin panas. Pohon-pohon yang tumbuh sejak ia belum lahir telah ditebang serampangan, oleh makhluk bersuara bising pemecah keheningan alam.
Merupakan satu kenyataan bila area perburuan menyempit. Makin menyempit, maka pinggirannya mendekati suatu permukiman. Berbahaya bagi dirinya. Berbahaya bagi warga.
Bisa jadi saat terperosok ke dalam lubang gelap, ia berburu terlalu dekat dengan permukiman.
Sejenak terlihat cahaya matahari menerobos celah di atasnya. Terdengar suara bising yang makin mendekat. Hiruk-pikuk. Pekik-pekik yang tidak akan pernah dimengertinya.
Ia hanya tahu, mereka menyatakan kemarahan sekaligus kegembiraan. Benar saja. Ia mecerap sorotan garang berpasang-pasang mata dan suara girang bibir-bibir nyinyir.
Mereka menyambit tubuhnya dengan dua tiga batu. Ia menggeliat, mengerang, menggeram. Sorakan mereka menyambut.
Dengan satu aba-aba jelas dan terang benar bunyinya, maka tongkat-tongkat kayu --yang ujungnya dikerat miring, yang apabila didorong dengan kekuatan terukur maka dapat menembus batang pisang dengan mudah-- dan galah bambu runcing serta tombak menghunjam kepalanya.
Ia tak berdaya, sebab takada cukup ruang untuk menghindar dari serangan tombak bertubi-tubi.
Menggeram pasrah adalah pertahanan terakhir. Cucuran banyak darah di kepala melemahkan. Raungannya kian lemah.
"Angkat ...!!!"
Tubuhnya melayang. Tali temali yang dijalin sedemikian rupa hingga membentuk jaring perangkap mengerek tubuh rapuh.
Tubuhnya luka parah, tapi hatinya lebih luka mengingat anak-anaknya yang lapar menunggu dibawakan daging hasil buruan.
Tidak ada seorangpun tahu, dan tidak bakal pernah ada yang mengetahuinya, air mata menetes mengaliri luka.
"Beset kulitnya. Hati-hati! Di pasaran harganya mahal."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H