Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mesin Buas untuk Mobil Lawas

10 Desember 2024   06:08 Diperbarui: 10 Desember 2024   07:24 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Joni penyuka mesin bertenaga, sangat bertenaga, demikian bertenaga, sehingga ketika pedal diinjak habis menyentuh lantai mobil, maka sebuah bodi ringkih dapat mengasapi kendaraan darat keluaran tahun lebih muda.

Bukan tidak mau, atau tidak mampu, meskipun ia harus menguras isi kantong dan tabungan di bank, ditambah sedikit berutang kepada teman baiknya, menebus mobil sport buatan Jepang yang dari pabriknya sudah dirancang agar mampu berlari kencang, jauh lebih kencang daripada kendaraan umumnya yang melaju mulus di jalan bebas hambatan.

Itu dirasa tidak ada tantangan bagi Joni, pria mendekati usia empat puluh tahun yang masih butuh pengakuan.

Ia tidak bisa membayangkan, memperlakukan mobil tua secara hormat. Menginjak hati-hati pedal gas, dan melajukannya bagaikan angin sepoi-sepoi yang, bahkan, tidak bakal merusak tatanan rambut wanita baru keluar dari salon.

Tidak menghentaknya dan membuat mesinnya menjerit kelelahan, lalu menerbangkannya bagai angin topan melanda pohon hingga tumbang. Tidak begitu.

Harus diawet-awet, karena hal demikian akan membuat kendaraan mejadi pajangan belaka di garasi, yang dipanaskan seminggu sekali itu. Atau, kalau bosan bolehlah dijual ke tukang kampak mobil-mobil tua di Parung [1].

Pada satu sore yang cerah Joni pulang mengendarai sebuah mobil yang pada zamannya lumayan populer. Bukan untuk pajangan, apalagi dikilo, melainkan dan tidak bukan untuk diremajakan biar bisa petantang petenteng di jalanan.

Saat membelinya, mesin masih standar, ia mesti hati-hati memperlakukanya. Kalau tidak, bila digeber maka dalamannya terkikis, mengeluarkan asap putih, diikuti dengan tanggalnya mur dan baut baut serta selang-selang satu demi satu.

Kemampuan pengereman? Butuh kesabaran. Joni harus menjalankan mobil secara perlahan, pedal rem diinjak, tapi besi tua itu enggan berhenti dengan segera.

Caranya, ya itu, harus melaju lamban betul, mengerem dengan menurunkan gigi persneling, mengocok pedal berkali-kali agar hidrolik bekerja menghentikan kendaraan

Hingga tiba di rumah Joni terpaksa menyimpan jiwa, yang senantiasa menuntut kecepatan, di dalam bagasi, kendati meronta-ronta. Keringat bercucuran. Sambil minum air mineral, Joni menggulir kontak, dan mengetuk nama bengkel langganan pada layar telepon genggam.

"Halo, Pak Mamat."

"Ya, bos?"

"Ada tempat kosong? Besok saya kirim barang."

"Siap. Kebetulan, ada yang baru keluar."

Bengkel Pak Mamat tidak bengkel besar, hanya bisa memuat enam mobil. Maklum, Pak Mamat menggunakan pekarangan di samping rumahnya sebagai tempat perbaikan mobil.

Di bengkel sederhana di tepi kali Ciliwung mesin mobil bawaan Joni dibongkar. Banyak bagian-bagian kudu diganti baru. Tak tanggung-tanggung, penggantinya adalah komponen berkualitas ekstra yang dibuat khusus untuk mesin performa tinggi.

Pak Mamat menangani perbaikan dan penggantian onderdil secara cermat. Terakhir adalah penambahan turbo, satu alat yang dipasang untuk menaikkan tenaga mesin menjadi lebih buas.

"Saya membeli komponen rem kualitas wahid, yang biasanya dipakai untuk mobil balap."

"Siap, bos!"

"O ya, simpen baik-baik. Mahal banget."

Pak Mamat menyimpannya di dalam rumah. Di dalam almari terkunci, tempat penyimpanan segala hal yang penting. Kunci selalu ia kantongi.

Komponen mesin terpasang pada tempatnya dengan sempurna. Tidak ada rembesan. Baut-baut telah dikencangkan menggunakan alat khusus, sesuai ketentuan mesin kemampuan tinggi.

Pak Mamat memutar kunci kontak. Tidak hidup. Sekali lagi memutar. Mesin bergetar, tapi tidak nyala. Percobaan ketiga barulah gerungan mesin terdengar.

Takada suara ganjil. Pak Mamat menengok ke kolong, tiada kebocoran. Menekan pedal gas, mesin berputar ringan, terasa raungan padat.

Ia puas dengan hasil pekerjaannya dan menghubungi Joni yang segera datang.

"Sudah bisa dipake jalan?"

"Digeber juga boleh, asal punya nyali."

Dengan riang hati Joni menepuk-nepuk setir, menginjak pedal gas perlahan demi merasakan raungan mesin, lalu tersenyum kepada spion tengah.

Setelah menekan pedal kopling, mendorong setang persneling, barulah telapak kaki menggerungkan mesin, sambil melepas tekanan pada kopling secara hati-hati.

Mobil melaju perlahan. Suara merdu mesin menambah lebar senyum Joni. Semakin kaki menekan, terdengar desis khas mesin turbo.

Kendaraan meliuk-meliuk di jalanan kota, melaju cepat, menyalip mobil lebih baru yang kemudian merasa tersinggung telah didahului oleh sebuah mobil lawas.

Hati panas mobil baru mengerakkannya lebih cepat, berusaha mengambil alih posisi dari mobil tua kurang ajar. Namun, napasnya tidak cukup panjang untuk mengejar mobil tua, sekalipun mendekati, meskipun pedal gas telah menyentuh lantai.

Mobil lebih baru menyerah. Joni melirik spion tengah. Semringah meliputi wajahnya.

Mobil-mobil lebih baru lainnya terengah-engah dan takjub, betapa sulit menyaingi kecepatan mobil tua itu.

Joni tidak peduli, tidak pernah peduli, dan tidak mau tahu dengan keheranan para pengguna jalan. Pokoknya ia menikmati mesin bertenaga buas yang terpasang di bawah kap mobilnya.

Ada saatnya menurunkan kecepatan. Kaki bertahap diangkat dari pedal gas. Gigi persneling diturunkan. Masih terlalu cepat, karena berat bodi turut mendorong laju kendaraan.

Lampu merah, di mana mulai tampak membesar sejumlah mobil dan motor yang sedang berhenti. Mobil lawas masih melaju.

Joni memindahkan kaki ke pedal yang berada di tengah, yang diapit oleh pedal gas dan pedal kopling. Masih melaju. Panik melanda.

Sementara itu, Pak Mamat terperanjat. Di tangan terdapat kunci almari. Itu menerbangkannya ke dalam rumah, membuka almari, dan terperangah melihat isinya.

Segera ia meraih telepon genggam, mengetuk layar, dan semuanya sudah terlambat.***

[1] Parung, Kabupaten Bogor, terdapat tempat-tempat tumpukan mobil tua; berjarak sekitar 30 km dari Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun