Danramil nan gagah perkasa menunjuk lembaran-lembaran. Bekata santun, "Izin. Sebaiknya disimpan di bawah meja."
"Siap, Ndan! Ngopi?"
Beberapa saat para pemain menghentikan kegiatan. Memindahkan tumpukan uang ke bawah daun meja yang tertutup taplak merah muda bergambar bunga-bunga. Anak-anak Omak dan teman-temanya melanjutkan permainan joker karo.
Danramil berjalan menjauh. Mengeluh di dalam hati, betapa dia sudah berkali-kali mengingatkan mereka, agar tidak melakukan permainan dengan mempertaruhkan uang. Nuraninya mengatakan, perbuatan tersebut sesungguhnya melanggar aturan dan kaidah agama.
Namun, yang membuatnya lebih khawatir apabila ada pihak luar melihatnya. Ada kemungkinn, orang yang tidak mengerti situasi lalu melaporkannya ke aparat berwajib.
Mayor Kusnadi lebih suka menghalau gerombolan pemberontak, daripada menghadapi perilaku anak-anak dari purnawirawan yang notabene seniornya.
Perasaan serba salah kemudian mengantarkan langkahnya ke sebuah tempat teduh berhalaman asri, berjarak tiga rumah dari kantor para pemborong. Tangannya mengetuk pintu jati. Bibirnya mengucap salam.
Seorang ibu sepuh membuka pintu. Menyambut dan menyilakan masuk.
"Saya duduk di teras saja, Bu."
Terhidang teh hangat dan kaleng tanpa sudut. Tampak ganjil. Sepintas sebagai kue khas negara Denmark, tapi keterangannya dalam Bahasa Inggris. Gambar ilustrasinya, tentara Skotlandia berdiri di samping bendera Belanda. Lebih membuat bingung ketika tutup dibuka.
"Ini baru digoreng. Dari Kampung Anyar."