"O, tenang. Tenang saja. Setelah aku menyantap makanan lezat, barulah aku membuat api, membumbui ayam, dan memanggangnya di atas bara," kata buaya yang meneteskan liur dari moncongnya.
Buaya bergerak menghampiri Endra. Membuka lebar moncong dan meliukkan ekor hendak menghantam anak kelas tiga SD itu.
Endra terperanjat menghadapi bahaya mencancam. Ia berkelit. Terjatuh sebentar, lalu bangkit dan mulai berlari. Namun, dengan kecepatan tak terduga buaya mengejar dan menaklukannya.
"Tolong! Tolong! Tolong!" Teriakan demi teriakan menggema.
Endra berontak sekuatnya, tetapi apa daya tenaga buaya jauh lebih kuat. Meronta-ronta tanpa kuasa, sebuah bayangan melintas berusaha meraih tangan-tangan kecil tak berdaya. Â
"Ah, rupanya kamu di sini. Terhalang semak-semak hingga tak mudah ditemukan," sayup-sayup terdengar suara.
Endra sangat mengenal suara lembut itu. Ia menyapu lelehen di ujung bibir yang mengering dengan ujung lengan seragam, lalu mengucek-ucek mata. Belum semua nyawanya berkumpul, sehingga ia belum bisa mencerna: mengapa ibunya, Bu Ayu, dan semua orang merubungnya?
Bu Ayu datang memeluk. Endra tiba-tiba merasa sangat sayang kepada guru kelasnya. Ibu Endra tersenyum bahagia. Teman-teman sekolah dan tetangga yang mengiringi bersorak gembira.
Semburat jingga yang sebentar lagi sirna dari cakrawala mengiringi kepulangan Endra dan sekumpulan orang.
***
Biodata:Â
Tukang tulis amatiran --bukan cerpenis. Biasa menggores gagasan di bawah pohon, ditemani kopi tanpa gula dalam gelas plastik.