Beberapa teman kelas membenarkan. Suara makin riuh, mengadukan perilaku tak terpuji Endra selama ini. Atas keterangan tersebut, Bu Ayu meminta Endra agar ke depan kelas dan berdiri menyimak pelajaran hingga pelajaran berakhir.
Endra yang tak berkutik merasa teman-teman sekelasnya senyum-senyum menyebalkan. Benih dendam di dalam hati tumbuh subur.
Di waktu berbeda, Endra benar-benar lupa mengerjakan pe-er, lantaran terlalu asik bermain dengan tetangga sebaya hingga Magrib. Alhasil pada malam harinya, dua kelopak mata enggan diajak membuka dan berkonsentrasi menyelesaikan tugas di halaman buku.
Meluruskan badan di tempat tidur membuatnya pulas hingga pagi, dalam waktu mana sudah tidak kesempatan cukup untuk menyelesaikan pe-er. Dapat ditebak, Bu Ayu memarahi Endra dan menghukumnya.
Puncak kemarahan guru kelas itu terjadi pada Jumat lalu. Endra telat masuk sekolah akibat bangun kesiangan. Kemarahan menggumpal.Â
Maka, pada Senin pagi Endra enggan bangkit dari ranjang. Sampai sebuah lengkingan mendobrak gendang telinga, "Endraaa ...!!! Bangun!"
Selimut terangkat dari tubuh, sejenak melayang, kemudian terjatuh di lantai. Kaki-kaki mungil menyeret Endra menuju gantungan handuk. Tak lama guyuran air menyentuh lantai keramik kamar mandi.
Usai mengenakan seragam dan sepatu, serta menjinjing tas, Endra menuju meja makan. Sarapan dengan terburu-buru melupakan kotak bekal.Â
Tanpa menggosok gigi, Endra berteriak pamitan kepada wanita yang telah melahirkannya, yang sedang membuat adonan tepung bahan jualan di depan rumah.
Dengan berlari-lari kecil anak laki-laki itu menuju sekolah. Pikirannya berkelana. Rasa malas makin berdentam di dalam kepala. Sejurus, Endra menghentikan langkah.
Mendadak pikiran liar membawa kaki ke arah berbeda. Ke tempat ia biasa mencari ikan setelah pulang sekolah atau pada hari libur. Berjalan agak lebih ke hilir ke tempat teduh yang bersemak. Saat itulah ia teringat telah lupa membawa bekal. Muncul sedikit rasa sesal.