Ia mengatakan, pada hari biasa Taman Heulang juga ramai dengan pengunjung. Pedagang mendirikan tenda lipat di sekitar lapangan.
Bedanya, di hari Sabtu dan Minggu para penjual tidak boleh membuka lapak di sekeliling lapangan. Baru boleh berjualan di sisi jalan berbeda. Pada akhir pekan di dekat Taman Heulang bagai pasar dadakan.
"Ada izin untuk buka lapak-lapak?"Â
Saya melihat seorang pemuda lain hilir mudik. Bercelana jins, mengenakan kaos ditutup rompi oranye, dan handy talkie mengantung di pinggangnya yang sesekali mengeluarkan suara.
"Dari Pemkot, enggak ya." Ia mengatakan, ada semacam penguasa wilayah yang mengatur tata-cara menempati lahan berjualan.
Setelah saya desak, ia menyebut angka Rp500.000 untuk biaya awal buka lapak ukuran 2X2 meter persegi. "Iuran" adalah Rp2.000 per hari. Harga-harga itu tidak mutlak, bisa bertambah sesuai skala usaha.
Dugaan liar saya, ada semacam "invisible hands" yang menguasai wilayah. Entah siapa. Mereka mengatur lapak-lapak penjualan, memungut uang pangkal dan harian, serta menjaga ketertiban juga keamanan. Sejauh pandangan mata, ketertiban dan kebersihan di Taman Heulang terjaga.
Tugas-tugas dan pekerjaaan tersebut seharusnya ditangani oleh aparat Pemerintah Kota Bogor.
Mie Ayam
Sebuah gerobak mie ayam baru tiba. Seorang bapak mendorongnya sejauh 1,5 kilometer dari Cibuluh Tanah Sareal. Ia berjualan di sini sudah lama, bahkan sebelum Taman Heulang diremajakan. Makanya pedagang lawas semacam ini tidak kena pungutan.
Sambil berjualan mie ayam, ia menunggu anaknya yang bersekolah di SMPN 5. Tempat saya duduk berdekatan dengan dinding pembatas sekolah tersebut. Terdengar jelas kegiatan belajar mengajar.
Bapak yang masih mengontrak rumah itu berjualan mewarisi resep mie ayam Wonogiri, daerah asalnya. Membuat sendiri bahan mie dengan menggunakan mesin. Dalam sehari mengolah 7 kilogram mie untuk 77 porsi mie ayam.