Pada pekan lalu saya mengalami kendala dalam proses registrasi Kompasianival 2024. Pasalnya, aplikasi email tidak dapat dibuka. Sedangkan, barcode untuk daftar ulang ada di dalamnya.
Tidak hanya Gmail, aplikasi lainnya ikut-ikutan tidak bisa dibuka kecuali WhatsApp. Rupanya telepon pintar saya mengalami demam.
Untuk menyembuhkannya, satu pilihan terakhir adalah mengembalikan ke setelan pabrik. Kemudian, aplikasi selain medsos dipasang ulang. Hape akhirnya dapat beroperasi sebagaimana mestinya.
Namun, beberapa nama lenyap meninggalkan nomor yang saya tidak tahu lagi itu siapa. Barangkali lupa mencadangkannya di cloud atau karena kelalaian lainnya.
Chat disimpan juga ikut-ikutan menghilang. Sebelumnya via chat anak saya membagikan lokasi (share location) Sadjang Bakmi, yang rencananya dikunjungi pada Kamis keesokan harinya.
Ingatan mengatakan, gerai berada di Jalan Walet. Saya tahu, ia adalah jalan di dekat SMPN 5 Kota Bogor. Saya menuju lokasi menumpang ojol sepeda motor. Saya tidak menemukan satu pun tempat makan. Melihat lebih saksama, ternyata Jalan Manyar. Manyar, bukan Walet!
Melihat Google Maps, masih 500 meteran lagi. Apa boleh buat, saya berjalan melalui Taman Heulang untuk mencapainya.
Ruang Terbuka Hijau yang dipercantik pada masa Bima Arya masih Wali Kota Bogor tampak ramai, meski pada hari biasa. Terakhir berkunjung beberapa waktu pada akhir pekan, Taman Heulang ramai pengunjung. Di sekitar lapangan berderet lapak kuliner dan barang dagangan lainnya.
Saya kira cuma Sabtu Minggu saja ramainya. Ternyata pada hari kerja pun stan penjualan makanan minuman, pakaian, celana pendek, sepatu, hingga diler yang menggelar tiga sepeda motor baru. Semuanya hampir memenuhi keliling lapangan. Pemandangan menarik.
Sayang sekali, foto-foto yang ada tidak dapat mewakili keramaian tersebut. Lain kali.
Ngopi
Berhubung masih punya waktu lapang, terlebih dahulu saya ingin menikmati suasana keramaian. Sepeda motor pembawa kotak kayu berisi kopi rencengan, galon air mineral, dan termos air panas menjadi tujuan.
Kepada penjual saya memesan seduhan kopi tanpa gula. Dengan mahir ia menggunting saset Liong Bulan, menumpahkan isinya ke gelas plastik, dan menuangkan air panas dari termos. Aduk sebentar, lalu mengantarkannya ke saya yang duduk di bawah pohon.
Pemuda pedagang kopi yang gesit, kendati tangan dan kaki kiri tampak kecil dan kurus. Membuatnya berjalan satu kaki berjingkat, satu tangan selalu menekuk.
"Dari kecil, kena polio," katanya. Sama sekai tanpa menunjukkan wajah memelas. Biasa saja.
Saya kagum menyaksikan semangatnya. Mengantar pesanan ke sana ke mari, meski dengan jalannya timpang dengan membawa baki isi dua kopi dengan satu tangan yang normal.
Satu ketika saya kembali, berbincang lagi dengan pedagang kopi keliling yang ulet dan bersemangat itu.
Penguasa Wilayah
Saya ngopi di samping Gunawan. Muda, tegap, berkulit hitam terbakar matahari, dan mengenakan kalung bola-bola mengilap di lehernya. Sepertinya, pria Cilacap itu "orang lama" di wilayah itu, atau orang yang kerap nongkrong. Pedagang di sekitar mengenal dan akrab dengannya.
Ia mengatakan, pada hari biasa Taman Heulang juga ramai dengan pengunjung. Pedagang mendirikan tenda lipat di sekitar lapangan.
Bedanya, di hari Sabtu dan Minggu para penjual tidak boleh membuka lapak di sekeliling lapangan. Baru boleh berjualan di sisi jalan berbeda. Pada akhir pekan di dekat Taman Heulang bagai pasar dadakan.
"Ada izin untuk buka lapak-lapak?"Â
Saya melihat seorang pemuda lain hilir mudik. Bercelana jins, mengenakan kaos ditutup rompi oranye, dan handy talkie mengantung di pinggangnya yang sesekali mengeluarkan suara.
"Dari Pemkot, enggak ya." Ia mengatakan, ada semacam penguasa wilayah yang mengatur tata-cara menempati lahan berjualan.
Setelah saya desak, ia menyebut angka Rp500.000 untuk biaya awal buka lapak ukuran 2X2 meter persegi. "Iuran" adalah Rp2.000 per hari. Harga-harga itu tidak mutlak, bisa bertambah sesuai skala usaha.
Dugaan liar saya, ada semacam "invisible hands" yang menguasai wilayah. Entah siapa. Mereka mengatur lapak-lapak penjualan, memungut uang pangkal dan harian, serta menjaga ketertiban juga keamanan. Sejauh pandangan mata, ketertiban dan kebersihan di Taman Heulang terjaga.
Tugas-tugas dan pekerjaaan tersebut seharusnya ditangani oleh aparat Pemerintah Kota Bogor.
Mie Ayam
Sebuah gerobak mie ayam baru tiba. Seorang bapak mendorongnya sejauh 1,5 kilometer dari Cibuluh Tanah Sareal. Ia berjualan di sini sudah lama, bahkan sebelum Taman Heulang diremajakan. Makanya pedagang lawas semacam ini tidak kena pungutan.
Sambil berjualan mie ayam, ia menunggu anaknya yang bersekolah di SMPN 5. Tempat saya duduk berdekatan dengan dinding pembatas sekolah tersebut. Terdengar jelas kegiatan belajar mengajar.
Bapak yang masih mengontrak rumah itu berjualan mewarisi resep mie ayam Wonogiri, daerah asalnya. Membuat sendiri bahan mie dengan menggunakan mesin. Dalam sehari mengolah 7 kilogram mie untuk 77 porsi mie ayam.
Tujuh puluh tujuh dikali Rp10.000, maka penjualan mencapai Rp770.000 per hari. Bisa jadi, lebih dari dua ratus ribu dibawa pulang.
"Alhamdulillah. Bisa makan, bayar kontrakan, dan menyekolahkan anak," sang bapak enggan menyebutkan angka.
***
Setelah dirasa cukup, saya beranjak dan membayar kopi seduh harga Rp4.000. Sebelum kaki melangkah, seorang pria menawarkan tumpangan ke Jalan Walet. Katanya, akan menjemput anaknya di sebuah SD di daerah berbeda.
Dengan halus saya menolak ajakan simpatik tersebut, mengatakan bahwa berjalan baik bagi kesehatan saya. Lagi pula jarak dituju kurang dari 500 meter, lima belas menit sampai.
Demikian cerita pada Kamis pagi beberapa hari lalu. Kisah yang terkumpul karena tersasar salah orientasi titik dituju. Satu saat saya akan kembali ke Taman Heulang, Kota Bogor, demi memperoleh cerita-cerita menginspirasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H