Sebelum berangkat, saya sempat bersantap di sebuah warung dekat Stasiun Besar Bogor. Sampai sore lambung bakal tidak berontak.
Tiba kembali di Kota Bogor pukul sembilan malam lebih. Pulang naik ojol yang dipesan melalui hape Kang Fery, berhubung saya kesulitan membuka aplikasi. Perut minta diisi, maka saya minta berhenti di satu tempat makan sebelum tiba rumah.
Takada menu soto! Ya sudah, makan pecel bebek dan kangkung cah. Setelahnya barulah minum obat.
Tidak seperti biasanya saya bangun kesiangan pada hari berikutnya, pas azan Subuh baru berkumandang. Kepala kliyengan kurang tidur.
Setelah sarapan, jalan-jalan pagi. Sampai di Jembatan Merah, naik angkot menuju Terminal Bubulak. Rencana ke sebuah toko serba ada di Sindang Barang. Kira-kira seratus meter sebelum tiba, mata melihat spanduk kecil bertuliskan: Soto Semarang!
Tempatnya sederhana. Empat meja kayu dikelilingi kursi-kursi plastik, ruang kecil untuk mengolah hidangan selain soto, dan pikulan. Menurut penjual (duh, lupa tanya nama), pikulan dibawa khusus dari Klaten.
"Waktu itu harganya tiga juta."
Lima tahun lalu pensiunan perusahaan asing bidang contractor & engineering itu memulai usaha penjualan soto, nasi mangut iwak pe, mi kopyok, tahu gimbal, sate (kerang, paru, telur puyuh, ati ampela), dan lainnya. Â
Resep keluarga yang turun temurun dari nenek sang penjual, kata sang penjual. Warung Soto Semarang "Eyang Putri" tertulis di kepala daftar menu.