Angan-angan menyantap soto membuntuti perjalanan dari Bogor ke tempat penyelenggaraan Kompasianival 2024.
Depot penjualan soto berada di seberang SMAN 3 Setiabudi. Seingat saya, tidak terlalu jauh dari venue acara kumpul-kumpul Kompasianer tiap tahun.
Terakhir saya menikmati kelezatan olahan berkuah gaya Lamongan itu adalah lebih dari sepuluh tahun lalu, bersama Kompasianer lawas, Sandra Prasetyo. Selama makan di sana, beliau terkaget-kaget lalu misuh-misuh tiap mendengar gebrakan botol beling isi kecap ke meja. Sejak saat itu Mbak Sandra tidak mau lagi makan soto lagi di sana.
Berbeda dengan saya, yang menjadikannya sebagai satu santapan favorit. Apabila my body is not delicious alias lagi takenak badan atau meriang sebab masuk angin, soto tersebut menjadi semacam obat.
Saya biasa memesan soto campur --nasi disatukan dengan kuah dan isian dalam satu mangkuk. Menelan soto kuah dengan uap berkepul-kepul membuat tubuh bagian dalam menjadi terasa nyaman. Rempah-rempahnya yang kuat juga amat menghangatkan, selain menghadirkan cita rasa istimewa.
Usai menghabiskan semangkuk soto hingga tak bersisa, pori-pori mengeluarkan keringat. Tak lama badan terasa segar dan pulih dari keadaan meriang.
Olahan berkuah itu bolehlah saya ibaratkan kaldu Boulanger yang "menyegarkan". Pria Perancis itu, yang lekat dengan penggunaan istilah restaurant untuk pertama kalinya, mendirikan model bisnis kuliner yang restaurare atau "memperbarui" (sumber).
Ternyata, acara demi acara di Kompasianival 2024 demikian memikat. Membuat enggan bergerak dari Commune Space -- Chilax Sudirman. Ditambah, perbincangan hangat dengan sesama Kompasianer menutup ingatan tentang soto.
Lagipula, Kompasianer Efwe (Fery W) mengatakan, untuk mencapai depot dimaksud harus memutar jika menggunakan kendaraan. Jalan kaki, jaraknya lumayan juga. Bisa-bisa menyedot waktu.
Lantas, makan apa?
Sebelum berangkat, saya sempat bersantap di sebuah warung dekat Stasiun Besar Bogor. Sampai sore lambung bakal tidak berontak.
Tiba kembali di Kota Bogor pukul sembilan malam lebih. Pulang naik ojol yang dipesan melalui hape Kang Fery, berhubung saya kesulitan membuka aplikasi. Perut minta diisi, maka saya minta berhenti di satu tempat makan sebelum tiba rumah.
Takada menu soto! Ya sudah, makan pecel bebek dan kangkung cah. Setelahnya barulah minum obat.
Tidak seperti biasanya saya bangun kesiangan pada hari berikutnya, pas azan Subuh baru berkumandang. Kepala kliyengan kurang tidur.
Setelah sarapan, jalan-jalan pagi. Sampai di Jembatan Merah, naik angkot menuju Terminal Bubulak. Rencana ke sebuah toko serba ada di Sindang Barang. Kira-kira seratus meter sebelum tiba, mata melihat spanduk kecil bertuliskan: Soto Semarang!
Tempatnya sederhana. Empat meja kayu dikelilingi kursi-kursi plastik, ruang kecil untuk mengolah hidangan selain soto, dan pikulan. Menurut penjual (duh, lupa tanya nama), pikulan dibawa khusus dari Klaten.
"Waktu itu harganya tiga juta."
Lima tahun lalu pensiunan perusahaan asing bidang contractor & engineering itu memulai usaha penjualan soto, nasi mangut iwak pe, mi kopyok, tahu gimbal, sate (kerang, paru, telur puyuh, ati ampela), dan lainnya. Â
Resep keluarga yang turun temurun dari nenek sang penjual, kata sang penjual. Warung Soto Semarang "Eyang Putri" tertulis di kepala daftar menu.
Selain di Jalan Raya Sindang Barang, warung sempat memiliki cabang di daerah Semplak. Tak jauh dari Pangkalan TNI AU Atang Sendjaja. Namun, pandemi covid-19 menutup usaha di tempat tersebut.
Satu keluarga, suami istri bersama satu putranya, menikmati hidangan. Penjual berbincang dengan sang bapak dalam Bahasa Semarangan. Rupanya, pelanggan cabang usaha di Semplak yang mencari sampai Sindang Barang (6,6kilometer dari Semplak).
Penjual yang rumahnya tak jauh dari lokasi usaha juga berbahasa Kromo, kepada saya yang tergegap-gegap. Sesekali bisa menimpali, lebih banyak berbahasa Indonesia. Maklum, saya berada lama di lingkungan warga yang mayoritas menggunakan Bahasa Sunda dan Indonesia.
Mengamati daftar menu, saya penasaran dengan nasi mangut. Ternyata habis. Demikian pula dengan mi kopyok dan tahu gimbal. Laris. Atau, persediaannya memang sedikit sehingga cepat habis. Lain kali mungkin lebih beruntung.
Soto Semarang menjadi pilihan. Bukan pertama kali menyantapnya. Sekitar dua puluh tahun lalu saya dan tim membenahi satu Restaurant & Cafe di Jalan Diponegoro, Semarang. Selama tiga bulan bolak balik Jakarta-Semarang, tidak jarang menginap di sekitar lokasi.
Saat menginap, saya mampir ke satu warung sederhana. Sarapan soto ayam, yang kemudian saya mengetahui bahwa itu soto khas Semarang. Pengalaman pertama sangatlah berkesan, membuat ketagihan menyantapnya.
Dua dekade kemudian saya melihat spanduk "Soto Semarang" di Kota Bogor. Mungkin satu-satunya di Kota Hujan. Tak menyia-nyiakan kesempatan langka, saya mampir untuk mencicipinya lagi
Pada papan di pikulan, penjual mengisi mangkuk dengan nasi putih, suwiran ayam, tauge, soun, bawang putih goreng. Ke dalamnya disiramkan kuah panas yang disauk dari dandang di satu sisi.
Sepintas, penampilan soto Semarang tidak jauh berbeda dengan soto Kudus. Ukuran cawan lebih kecil dari mangkuk bakso. Sendok bebek. Nasi campur isian dan kuah.
Umumnya warga Kota Bogor tidak terbiasa dengan masakan berkuah disajikan dalam satu wadah. Maunya, nasi terpisah dengan soto. Sang penjual menyesuaikan bila ada pembeli yang meminta demikian.
Dugaan saya, kebanyakan pelanggan berasal dari Jawa Tengah atau mereka yang pernah merasakan kesegaran soto Semarang.
Ke dalam mangkuk tersaji, saya memeras jeruk nipis dan menambah sedikit sambal. Mencicipi barang seujung sendok. Tepat seperti bayangan yang tertanam selama 20 tahun di kepala. Demi menambah selera, saya mengambil sate kerang dan paru masing-masing satu tusuk.
Isi cawan tidak langsung dihabiskan dengan cepat. Saya merasakan, menikmati, dan menghayati tiap suapan. Meskipun berbeda dengan soto gaya Lamongan di Setiabudi Jakarta, yang sangat kaya dengan rempah, Soto Semarang memiliki cita rasa khas gurih. Berkuah ringan dan menyegarkan jiwa raga.
Ya! Memang olahan berkuah khas kota Semarang ini menyegarkan dan memperbarui. Restaurare!
Semangkuk soto Semarang hanya ditebus dengan harga Rp11.000. Setusuk sate Rp4.000.Â
Gagal makan soto di Setiabudi, menyantap soto Semarang boleh banget.
"I'll be back" (Arnold Schwarzenegger, dalam film The Terminator tahun 1984).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI