Lebam dan memar di paha Budi membuat Bapaknya Budi gusar. Anaknya mengalamatkan kepada peristiwa pemukulan gagang sapu oleh gurunya. Jiwa membela ditambah didikan keras militer membuatnya ingin membalas perbuatan guru bernama Utari.
Untunglah, kesadaran tentang konsekuensi hukum tidak membuatnya berlaku sewenang-wenang. Sebagai warga negara baik dan taat hukum, Bapaknya Budi membuat aduan ke kantor aparat penegak hukum tempatnya bekerja.
Koleganya mendengarkan kronologi kejadian dan membuat berita acara. Dari laporan itu maka Bu Utari mendapat panggilan hukum.
Seperti biasa, pihak yang melakukan kesalahan dan mendapatkan panggilan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya akan berkelit, dengan seribu satu dalih.
Namun, dengan ditandatanganinya berita acara pemeriksaan, kasus kekerasan guru terhadap murid akan naik ke kejaksaan dan pengadilan. Dengan demikian, hukum berlaku seadil-adilnya untuk menetapkan siapa yang bersalah.
Sempat ada wacana agar keluarga Bu Utari menebus perkara melalui jalan perdamaian, tetapi jumlah uang damai diajukan melampaui batas kemampuan mereka. Maka, kasus hukum dilanjutkan hingga persidangan untuk mendapatkan keadilan dari mereka yang mulia.
Bu Utari Guru Pelajaran Membaca telah dihukum setimpal sesuai dengan perbuatannya.
Kepastian hukum telah menciptakan rasa aman bagi para orangtua siswa. Para guru tidak dapat lagi berlaku sewenang-wenang atau memukul anak didik sesuka hati.
Sekarang guru menjadi corong buku, yang isinya kemudian dilantangkan di depan kelas. Tidak penting, apakah siswa mendengarkan atau tidak. Menyimak atau asyik bermain gim.
Sementara itu, Budi bersama keluarga di teras rumah setelah keberangkatan Bapaknya Budi dinas ke luar kota. Wati, kakak Budi memandang awan bergulung-gulung memancarkan warna kemerahan di langit sore. Ibunya Budi menggendong Iwan, adik Budi.
Ibunya Budi bertanya lembut kepada Budi yang sedang bermenung, "mau cerita yang sebenarnya?"