Wajah Guru Membaca pucat. Dua mata indahnya membanjir tanya. Bibir merahnya membuka hendak mengeluarkan nada protes.
Komandan pasukan menyergah, "Anda ditahan. Ini surat perintahnya," seraya menyerahkan salinan dokumen kepada Bu guru yang bergetar setelah membacanya.
"A ... Ak ... Aku tidak melakukannya. Tidak mungkin melakukannya!"
"Ini perintah. Saudara dibawa sekarang."
Disaksikan kepala sekolah, kepala tata usaha, penjaga sekolah, guru-guru, dan murid-murid yang keluar kelas ditinggal para pengajar, Bu Utari digelandang bak penjahat kroco ke atas mobil bak terbuka lantas diapit pasukan bersenjata.
Beda dengan perlakuan pejabat yang tertangkap basah menyalahgunakan kekuasaan. Mereka menaiki mobil SUV kelas atas yang berpendingin udara dan dikawal mobil-mobil bagus.
Di kantor aparat penegak hukum Bu Utari duduk di bangku kayu, berhadapan dengan petugas yang dua jarinya mengetuk sebuah mesin. Dengan tangan kiri, sesekali petugas mendorong bulatan memanjang ke kanan. Silinder itu bertahap kembali ke kiri setelah ujung-ujung logam menerakan tinta di atas kertas putih berkop.
Banyak sekali pertanyaan diajukan. Tak satu pun mudah dijawab, karena Bu Utari tidak merasa melakukan sebagaimana yang disangkakan. Seingatnya ia tidak pernah berbuat, tetapi petugas memaksakan agar jawaban sesuai dengan pertanyaan dan pernyataan.
Kelelahan ditanya-tanya sampai sang surya merasa bosan lalu lelap di pelukan malam, akhirnya Bu Utari mengakui perbuatan menurut sangkaan para petugas.
"Silakan berita acara ini ditandatangani. Malam ini Saudara ditahan selama dua puluh hari ke depan."
"Tapi ...."
"Nanti ada petugas yang memberitahu keluarga."
Air menggenang pada kedua mata Bu Utara. Dadanya sesak tak berdaya melawan tuduhan yang sudah digariskan. Alibi serta segala dalih bahwa ia tidak melakukan apa yang disangkakan, ditolak secara meyakinkan oleh petugas pemeriksa.
Bukti-bukti dan pernyataan korban sangat kuat, menjadikan pembelaan diri Bu Utari bagai serpihan dedaunan kering tiada daya.