Wanita tersebut mengalami beberapa kali penggusuran. Terusir dari emperan depan stasiun Bogor, seiring dengan pembenahan tempat perhentian kereta tersebut, dan pindah ke pinggiran Taman Topi yang kelak menjadi alun-alun. Pembangunan Alun-Alun Kota Bogor membuatnya tergusur lagi.
Meskipun liar, menempati lapak di sana tidak gratis. Beragam setoran kepada preman dan oknum bisa mencapai Rp250.000 per hari.
Kasihan para pedagang kecil, sudah tergusur dipalak pula. Mudah-mudahan pihak Pemkot Bogor tegas memberantas pungli semacam itu.
Bah, ngelantur!
Sambal merah meriah dalam cobek besar, yang terpampang secara terang-terangan, menjadi daya tarik utama. Ditambah, lalapan menjuntai segar dan lauk-pauk baru digoreng yang ditata di atas meja.Â
Swalayan alias ambil sendiri nasi, lauk, lalap, dan sambal. Sak kuatnya perut menampung.
Sepuluh tahun kemudian "menemukannya" kembali di bantaran sungai Cidepit dengan keadaan berbeda. Kini Bu Nunung menempati ruang sempit untuk berjualan. Ragam menunya pun berkurang. Mungkin, pembelinya juga menyurut.
Namun, ciri khas berupa sambal merah meriah dalam cobek besar masih terlihat jelas. Daya tarik bisnis kuliner itu masih dipertahankan.
Sambal itulah yang menghela saya untuk berjalan pagi ke Jembatan Merah, turun ke Jalan Veteran, memasuki jalan kecil di samping SDN Panaragan, dan duduk di meja panjang memandang sambal dan lauk.
Kepada Bu Nunung saya minta nasi setengah (lebih tepat disebut seporsi nasi bila diukur dengan perut saya), ikan tembang (kecil-kecil), tahu, tempe, tumis sawi putih, dan irisan mentimun. Sambal ambil sendiri. Harga ramah di kantong, Rp12.000 dan gratis minum teh hangat.