Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Sambal Penggugah Selera dan Penggoda Indra Perasa

8 Oktober 2024   08:05 Diperbarui: 9 Oktober 2024   19:19 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasi, tempe, tahu, tumis sawi, ikan tembang, dan mentimun (Dokumentasi pribadi)

Warung tampak biasa saja, tetapi merahnya sambal dalam cobek menggoda mata yang kemudian menyuruh badan untuk mampir.

Kios kira-kira ukuran 4x4 meter persegi berada di Jalan Veteran Belakang, Kota Bogor. Jalan yang hanya bisa dilalui pejalan kaki dan sepeda motor itu bersisian dengan sungai Cidepit.

Di dalamnya terdapat meja persiapan bahan, kompor, etalase, dan meja panjang untuk yang makan. Di atas meja terletak cobek besar berisi sambal.

Kios kecil (Dokumentasi pribadi)
Kios kecil (Dokumentasi pribadi)

Sambal merah meriah itulah yang memanggil-manggil jiwa untuk menghampiri sekalian mencicipinya. Bukan untuk pertama kali saya makan di warung tersebut. Oktober 2022 dua tahun lalu pernah singgah.

Setelah berbincang, baru diketahui bahwa Bu Nunung pemilik Warung Panghegar itu sempat berjualan nasi di halaman luar Stasiun Bogor.

Beberapa kali saya makan di sana. Meski keadaannya kumuh dan terbuka, sambal dalam cobek menyeret saya untuk memasuki warung di antara beragam barang dagangan. Tergusur karena operasi pembenahan wajah stasiun.

Kalau tidak salah, tahun 2012 Ignatius Jonan (Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia) menertibkan lapak dagangan liar di sekitar stasiun. Sebelumnya, mereka membayar upeti kepada oknum. 

Ketegasan Jonan berhasil mengembalikan wajah cantik Stasiun Besar Bogor.

Lalu Bu Nunung berjualan di seberang stasiun, yakni di area yang sekarang menjadi Alun-Alun Kota Bogor. Saya belum pernah mampir di tempat ini.

Wanita tersebut mengalami beberapa kali penggusuran. Terusir dari emperan depan stasiun Bogor, seiring dengan pembenahan tempat perhentian kereta tersebut, dan pindah ke pinggiran Taman Topi yang kelak menjadi alun-alun. Pembangunan Alun-Alun Kota Bogor membuatnya tergusur lagi.

Meskipun liar, menempati lapak di sana tidak gratis. Beragam setoran kepada preman dan oknum bisa mencapai Rp250.000 per hari.

Kasihan para pedagang kecil, sudah tergusur dipalak pula. Mudah-mudahan pihak Pemkot Bogor tegas memberantas pungli semacam itu.

Bah, ngelantur!

Sambal merah meriah dalam cobek besar, yang terpampang secara terang-terangan, menjadi daya tarik utama. Ditambah, lalapan menjuntai segar dan lauk-pauk baru digoreng yang ditata di atas meja. 

Swalayan alias ambil sendiri nasi, lauk, lalap, dan sambal. Sak kuatnya perut menampung.

Sepuluh tahun kemudian "menemukannya" kembali di bantaran sungai Cidepit dengan keadaan berbeda. Kini Bu Nunung menempati ruang sempit untuk berjualan. Ragam menunya pun berkurang. Mungkin, pembelinya juga menyurut.

Namun, ciri khas berupa sambal merah meriah dalam cobek besar masih terlihat jelas. Daya tarik bisnis kuliner itu masih dipertahankan.

Sambal itulah yang menghela saya untuk berjalan pagi ke Jembatan Merah, turun ke Jalan Veteran, memasuki jalan kecil di samping SDN Panaragan, dan duduk di meja panjang memandang sambal dan lauk.

Sambal, ikan etem/gepeng, dan ikan tembang (Dokumentasi pribadi)
Sambal, ikan etem/gepeng, dan ikan tembang (Dokumentasi pribadi)

Kepada Bu Nunung saya minta nasi setengah (lebih tepat disebut seporsi nasi bila diukur dengan perut saya), ikan tembang (kecil-kecil), tahu, tempe, tumis sawi putih, dan irisan mentimun. Sambal ambil sendiri. Harga ramah di kantong, Rp12.000 dan gratis minum teh hangat.

Waktu itu saya makan dengan kalap. Sambal tekor, tidak mampu menandingi setengah piring nasi dan lauk. Tambah sambal, lauk habis. Tambah lauk, nasi dan sambal kurang. Tidak mudah menemukan strategi tepat untuk menghabiskan nasi, lauk, dan sambal secara bersamaan.

Memang sambal merah meriah dalam cobek besar tidak hanya menggugah selera, tetapi menggoda lidah kendati perut hampir meledak.

Saya sepakat dengan kompas.id yang mengatakan, tak lengkap melahap nasi berikut lauk tanpa disertai sambal (sumber).

Setelah menanyakannya, sambal dibuat secara sederhana. Tidak ada rahasia khusus. Saya bisa melihat saat Bu Nunung mengulek cabai rawit merah, tomat, dan terasi matang bersama garam. Sedikit penyedap ditambahkan.

Benar-benar sambal sederhana. Entah kalau ada jampi-jampi khusus selama membuat sambal. Pastinya, sambal sederhana tersebut selalu dibuat baru.

***

Warung Panghegar barangkali tidak berjaya seperti dulu, ketika berjualan di sekitar Stasiun Bogor. Saat itu, jumlah penumpang KRL yang membludak menjadi jaminan pasar sangat bagus.

Meski potensi pembeli berkurang dibanding dulu, Bu Nunung bersyukur berada di kios yang berada tidak jauh dari rumahnya dan pusat keramaian.

Pembelinya sekarang berasal dari karyawan toko swalayan sekitar, ibu-ibu yang menunggu anak bersekolah, dan mereka yang kangen dengan sambalnya seperti saya.

Sambal merah meriah dalam cobek besar menjadi daya tarik utama. Sambal sebagai ciri khas warung sederhana. Penggugah selera dan penggoda lidah untuk terus mengecap, sekalipun perut sudah tidak muat.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun