Sepertinya, kamu mencintai huruf-huruf berlompatan riang pada helai-helai lebih dari apa pun. Aku pun tak bermaksud merusak konsentrasimu dengan pertanyaan membingungkan. Lebih baik aku bungkam dan tak puas-puasnya mencuri pandang padamu.
Pada waktu-waktu berikutnya, aku mencari kamu di tempat ini. Tidak perlu memutar angka pada perangkat komunikasi di rumah atau di bilik telepon umum. Aku tahu persis, dalam banyak waktu kamu ada di sini sedang membaca.
Aku pun akan memilih tidak hanya buku fiksi, tetapi kitab berisi pengetahuan yang berhubungan dengan mata kuliah atau buku apa saja.
Seperti biasanya, usai menutup buku, kamu dan aku berdiskusi penuh semangat. Aku menyadari, cakrawala pengetahuanku makin terbuka dan makin mengagumi kecerdasanmu.
Entah terpengaruh oleh Kahlil Gibran atau Sapardi Djoko Damono, pada satu kesempatan aku menyampaikan maksud yang sudah lama terpendam dengan sepenuh hati. Menurutku, aku mengucapkannya dalam cara paling elegan dan romantis
Saat itu juga aku menyaksikan keindahan yang seketika merona pada wajahmu. Bibir tipis kamu merekah indah, yang sempat menerbitkan gagasan melumatnya.Â
***
Dengan melipat dua lutut dan bertumpu pada telapak kaki yang berjinjit, aku berdoa sepenuh hati. Matahari mulai mencolek ubun-ubun.Â
Sebetulnya, ingin berlama-lama di sana. Namun, aku harus melakukan sesuatu. Aku berdiri. Menarik napas panjang. Diam sebentar, selanjutnya meraih tangan mungil di sampingku.
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat di mana engkau bisa membuka jendela dunia. Tempat kesukaan ibumu."
Kepala berambut poni menghadapkan muka ke atas. Mata beningnya berbinar. Sejenak aku ingat kepadamu. Bibir tipis bidadari kecil itu bergerak, "Jendela dunia ...?"