Telapak tanganku menutupi kepala mungilnya dari cahaya menari-nari cerah ceria membakar dunia. Ruang lebih tinggi dari bumi berkobar. Ujung jalan di sana yang merupakan tujuan akhir perjalanan sedang mendidih, mencair, berkilau-kilau, dan udara di atasnya bergetar.
Belok kiri terdapat bangunan dua lantai yang tiada pernah letih menunggu pengunjung, sekalipun tiada pungunjung. Gedung yang sekilas tampak rapuh digerogoti usia. Kini, pohon jambu --yang buah dan daunnya berserak-serak-- memayungi halamannya sebagai penyejuk.
Ke gedung itulah kini aku hendak menjumpai kenangan indah bersamamu.
***
Pada waktu itu, di dekat pohon jambu yang bahkan belum bisa berbunga, dan pada sebuah bangku taman kamu berkata kepadaku, "Jika ingin menjumpaiku, masukklah! Aku menghabiskan banyak waktu dengan membuka jendela dunia di gedung ini."
"Jendela dunia ...?'
"Ikut masuk! Engkau akan mengerti."
Bagai kerbau dicocok hidung aku mengikuti langkahmu menaiki anak tangga satu demi satu, menapaki lantai teraso klasik warna abu-abu, melewati dua daun pintu jati yang mementang lebar, lalu mengisi buku di hadapan penerima tamu berkacamata tebal yang duduk kaku.
Sambil menunggu kamu menuliskan sesuatu, mataku berkelana. Memandang langit-langit tinggi. Mengagumi bukaan yang mengalirkan angin sejuk dari pohon-pohon, juga menyalurkan cukup cahaya siang ke ruangan tenang bebas dari hiruk-pikuk dunia.
Berada di dalamnya terasa sejuk yang asing. Ditambah, aroma asap bercampur bau mirip kulit menerpa hidungku. Aku mengira, aroma bersahaja itu berasal dari deretan rak berwarna cokelat tua yang membentuk lorong-lorong.Â