Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Binar Mata yang Membuka Jendela Dunia

27 September 2024   06:04 Diperbarui: 27 September 2024   06:04 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Binar Mata yang Membuka Jendela Dunia, Gambar oleh StockSnap dari Pixabay

Telapak tanganku menutupi kepala mungilnya dari cahaya menari-nari cerah ceria membakar dunia. Ruang lebih tinggi dari bumi berkobar. Ujung jalan di sana yang merupakan tujuan akhir perjalanan sedang mendidih, mencair, berkilau-kilau, dan udara di atasnya bergetar.

Belok kiri terdapat bangunan dua lantai yang tiada pernah letih menunggu pengunjung, sekalipun tiada pungunjung. Gedung yang sekilas tampak rapuh digerogoti usia. Kini, pohon jambu --yang buah dan daunnya berserak-serak-- memayungi halamannya sebagai penyejuk.

Ke gedung itulah kini aku hendak menjumpai kenangan indah bersamamu.

***

Pada waktu itu, di dekat pohon jambu yang bahkan belum bisa berbunga, dan pada sebuah bangku taman kamu berkata kepadaku, "Jika ingin menjumpaiku, masukklah! Aku menghabiskan banyak waktu dengan membuka jendela dunia di gedung ini."

"Jendela dunia ...?'

"Ikut masuk! Engkau akan mengerti."

Bagai kerbau dicocok hidung aku mengikuti langkahmu menaiki anak tangga satu demi satu, menapaki lantai teraso klasik warna abu-abu, melewati dua daun pintu jati yang mementang lebar, lalu mengisi buku di hadapan penerima tamu berkacamata tebal yang duduk kaku.

Sambil menunggu kamu menuliskan sesuatu, mataku berkelana. Memandang langit-langit tinggi. Mengagumi bukaan yang mengalirkan angin sejuk dari pohon-pohon, juga menyalurkan cukup cahaya siang ke ruangan tenang bebas dari hiruk-pikuk dunia.

Berada di dalamnya terasa sejuk yang asing. Ditambah, aroma asap bercampur bau mirip kulit menerpa hidungku. Aku mengira, aroma bersahaja itu berasal dari deretan rak berwarna cokelat tua yang membentuk lorong-lorong. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun