Tidak sedikit pengunjung tergoda, melihat-lihat, lalu membeli, minta dibungkuskan, dan membawanya pulang. Termasuk saya, yang mengincar aneka pepes, buntil, sup tahu putih, tumis daun/bunga papaya, dan sambal bawang yang aduhai pedasnya.
Wanita paruh baya itu mengaku, berjualan makanan lebih dari sepuluh tahun. Selama bulan Ramadan, ia berjualan di tempat tinggalnya yang merangkap sebagai warung di Pondok Rumput, Kota Bogor.
Usaha penjualan makanan matang tersebut tumbuh berkat hobinya dalam memasak, yang bagusnya memenuhi selera banyak orang. Dasarnya adalah masakan Jawa Tengah. Dengan cerdik wanita berkaca mata itu menyesuaikannya dengan umumnya lidah setempat.
Lapak penjualan makanan matang Bu Koni menjadi tujuan tetap pada setiap pekan, jika melewati Pasar Anyar.
Apabila tidak, maka saya akan menuju Pasar Merdeka. Beli sayur lalu menuju satu ruko yang dibangun menjadi rumah makan. Namun, menurut pengamatan, pembeli lebih banyak membawa pulang makanan matang tinimbang memakannya di tempat. Kira-kira, dua banding satu.
Di dalam etalasenya terdapat beragam olahan. Tumisan sayur, ikan goreng, tempe bacem, telur balado, orek tempe, semur tahu, jengkol, dan lainnya. Di sebelahnya, terletak panci sup iga, pindang bandeng kuah, sayur asem, lalap dan sambal, serta pepes-pepesan.
Lapar mata, bisa-bisa semua jenis dipilih dan dibawa pulang. Beberapa macam olahan pernah dicoba dan rasanya tidak mengecawakan.
"Alhamdulilah, banyak orang suka," ujar Bu Sayet pemilik tempat makan yang menyerahkan pengelolaannya kepada anak dan cucunya, dibantu beberapa karyawan.
Selain usaha penjualan makanan, bersama suaminya wanita kelahiran Bogor tersebut membuka toko beras. Tadinya dijalankan oleh suaminya, sekarang oleh anaknya. Wanita sepuh itu bertutur, usaha makanan matang dan kios beras sudah berjalan tiga puluh tahun.
Jam terbang yang tidak dapat dianggap sepele, terutama di bisnis kuliner yang berhubungan dengan selera. Bisa saja dalam satu periode tertentu terjadi perubahan gaya mutakhir dalam selera makan. Misalnya, tren kuliner kekorea-koreaan.
Pergantian kecenderungan makan yang sedikit banyak berpotensi mengubah gaya pengolahan dan tampilan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Bu Sayet. Ia tidak mengubah menu makanan tradisional menjadi, katakanlah, hidangan kekinian.