Tidak hanya bahan kebutuhan dapur, di pasar tradisional juga bisa jajan di emperan atau membeli makanan matang untuk dibawa pulang.
Batasan versi saya, jajanan adalah makanan dan minuman yang dijajakan untuk dimakan di tempat. Sedangkan makanan matang adalah aneka hasil olahan yang cenderung dibawa pulang oleh pembelinya.
Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa rumusan seadanya tersebut bisa saling bertukar tempat. Jajanan sangat mungkin dibungkus dan dibawa pulang. Sebaliknya, makanan matang disantap di tempat atau tidak jauh dari lokasi penjual.
Keberadaan warung nasi di pasar tradisional akan sedikit membingungkan definisi. Umumnya pengunjung makan di tempat, tetapi tidak jarang sebagian membungkus produk.
Artikel akan membahas makanan matang yang siap disantap dan umumnya dibeli untuk dibawa pulang oleh pembeli. Bukan minuman (dawet dan aneka es) dan makanan (bakso, mi ayam, lontong sayur, dan sebagainya) sebagai jajanan dimakan di tempat.
Ada dua Rekomendasi Pasar Tradisional di Kota Bogor untuk membeli makanan matang, yaitu Pasar Anyar dan Pasar Merdeka.
Pada lantai bawah (basement) pasar tradisional Jalan Dewi Sartika itu, terdapat satu penjual makanan matang di antara pedagang daging, ikan asin, tempe, sayuran, dan kios sembako.
Bu Koni memajang rice warmer, panci-panci tutup kaca, dan beberapa stainless steel food pan pada satu bagian dari kios sembao miliknya. Pada tutupnya ditempel nama-nama makanan yang menjadi isinya.
Penempatan mudah terlihat dan menarik perhatian. Tumisan, aneka pepes, ikan goreng, dendeng gepuk, olahan ayam, gudeg dan krecek, gule, sup, sambal ditata rapi. Bersih pula. Tidak ada tempat khusus untuk makan di tempat.
Tidak sedikit pengunjung tergoda, melihat-lihat, lalu membeli, minta dibungkuskan, dan membawanya pulang. Termasuk saya, yang mengincar aneka pepes, buntil, sup tahu putih, tumis daun/bunga papaya, dan sambal bawang yang aduhai pedasnya.
Wanita paruh baya itu mengaku, berjualan makanan lebih dari sepuluh tahun. Selama bulan Ramadan, ia berjualan di tempat tinggalnya yang merangkap sebagai warung di Pondok Rumput, Kota Bogor.
Usaha penjualan makanan matang tersebut tumbuh berkat hobinya dalam memasak, yang bagusnya memenuhi selera banyak orang. Dasarnya adalah masakan Jawa Tengah. Dengan cerdik wanita berkaca mata itu menyesuaikannya dengan umumnya lidah setempat.
Lapak penjualan makanan matang Bu Koni menjadi tujuan tetap pada setiap pekan, jika melewati Pasar Anyar.
Apabila tidak, maka saya akan menuju Pasar Merdeka. Beli sayur lalu menuju satu ruko yang dibangun menjadi rumah makan. Namun, menurut pengamatan, pembeli lebih banyak membawa pulang makanan matang tinimbang memakannya di tempat. Kira-kira, dua banding satu.
Di dalam etalasenya terdapat beragam olahan. Tumisan sayur, ikan goreng, tempe bacem, telur balado, orek tempe, semur tahu, jengkol, dan lainnya. Di sebelahnya, terletak panci sup iga, pindang bandeng kuah, sayur asem, lalap dan sambal, serta pepes-pepesan.
Lapar mata, bisa-bisa semua jenis dipilih dan dibawa pulang. Beberapa macam olahan pernah dicoba dan rasanya tidak mengecawakan.
"Alhamdulilah, banyak orang suka," ujar Bu Sayet pemilik tempat makan yang menyerahkan pengelolaannya kepada anak dan cucunya, dibantu beberapa karyawan.
Selain usaha penjualan makanan, bersama suaminya wanita kelahiran Bogor tersebut membuka toko beras. Tadinya dijalankan oleh suaminya, sekarang oleh anaknya. Wanita sepuh itu bertutur, usaha makanan matang dan kios beras sudah berjalan tiga puluh tahun.
Jam terbang yang tidak dapat dianggap sepele, terutama di bisnis kuliner yang berhubungan dengan selera. Bisa saja dalam satu periode tertentu terjadi perubahan gaya mutakhir dalam selera makan. Misalnya, tren kuliner kekorea-koreaan.
Pergantian kecenderungan makan yang sedikit banyak berpotensi mengubah gaya pengolahan dan tampilan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Bu Sayet. Ia tidak mengubah menu makanan tradisional menjadi, katakanlah, hidangan kekinian.
Tempat makannya ramai dikunjungi dan telah memiliki pelanggan tetap. Paling banyak adalah pembeli yang membawa pulang makanan matang (setelah bayar, ya). Sisanya, menghabiskan hidangan di tempat.
Tidak ada rahasia khusus, kata Bu Sayet. Ia suka memasak, orang lain menyukai dan tidak ragu menikmati makanan dibuat. Makin lama jumlah dan jenis masakan makin bertambah, Â sehingga satu ketika warung tersebut dikenal menjual makanan matang.
Saya kira, tiga puluh tahun perjalanan usaha telah bercerita tentang banyak hal, dari menghadapi kesulitan hingga kesuksesan sebuah bisnis kuliner.
Baik Bu Koni maupun Bu Sayet menekankan beberapa hal agar bisnis kuliner tersebut awet:
- Dilakukan dengan senang hati. Memasak adalah kesenangan mereka.
- Hasil masakan sebisa munkin mengikuti selera banyak orang dan bukan sekadar ikut-ikutan tren.
- Tekun berusaha dan berani menghadapi jatuh bangunnya usaha.
- Ajek menjaga kualitas produk.
- Memilih lokasi strategis seperti di pasar. Atau, membuka warung penjualan di permukiman dengan sasaran ibu-ibu yang tak sempat memasak karena, misalnya, bekerja.
Kisah-kisah di atas menyatakan bahwa kesukaan memasak bisa mendatangkan cuan, yaitu dengan membuka usaha penjualan makanan matang.Â
Selamat mencoba!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI