Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Langit Cerah Ceria, Senja Merah Jambu

7 September 2024   06:07 Diperbarui: 8 September 2024   18:20 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum memutar kunci ke posisi "mati", Salim mengembangkan dada demi menarik campuran beragam gas tanpa warna dan tidak berbau mengalir melalui dua lubang di atas bibir. Memampatkan pada perut bagian dasar dan menahannya selama tujuh hitungan.

Tujuh! "Tujuh" dimaknai sebagai tujuan hendak dicapai. Tujuh dalam bahasa Jawa adalah pitu, yang menyiratkan pitulungan. Ia mencari "pitulungan", berusaha memperoleh pertolongan.

Kepada siapa? Tentunya kepada-NYA yang berada di urutan teratas, yakni Sang Pemberi Jalan Keluar. Berikutnya, kepada pribadi yang pasrah sehingga tiba kepada diri sejati tanpa rasa ingin.

Tidak mudah. Butuh latihan berkesinambungan, ajek, dan dalam keadaan jiwa jernih, yang tidak melulu didapatkan di pucuk gunung sepi atau dalam gua gelap dan senyap. Penjelajahan menuju hening juga dapat ditempuh pada lingkungan ramai, di rumah, bahkan di emper mobil ketika hendak menyimpan kendaraan roda empatnya.

Di situlah Salim membuat dirinya menjadi jernih. Setidaknya, mewujudkan seseorang yang pulang dalam keadaan tidak gelisah. Aman dan tenteram dalam jiwa dibangun dengan olah napas dalam yang diajarkan oleh guru spiritualnya.

Ia harus melakukannya demi mengenyahkan serupa kupu-kupu beterbangan di dalam rongga tubuh di bawah dada. Serangga bersayap berputar mengelilingi dan mendarat di perut. Kaki-kaki kecil mereka mencengkeram. Mulut-mulut mungil mereka mengerikiti kulit luar lambung.

Sensasi aneh, tapi menyenangkan. Membuat pria berjanggut tipis menjadi gugup. Bibir mengatup, menahan degup-degup yang berdenyut dan yang tadi membuatnya remaja.

Sejenak mata melihat pantulan wajah oval pada spion. Kegugupan menggerakkan tangan. Jemari menyisir ke belakang rambut atas yang memanjang, tidak menyentuh bagian sisi dengan rambut pendek sehingga menampakkan warna cerah kulit kepala. Sebagian jambul yang dibiarkannya jatuh menguatkan kesan wajah keras dengan garis rahang tegas yang menawan.

Muncul perasaan yang sulit diterangkan. Pikiran melayang-layang, bisa jadi karena Salim lama sekali tidak merasakannya. Segala rasa campur aduk bagai diaduk mengacaukan jiwa. Ada rasa senang, itu sudah pasti, penyebab kegembiraan besar dan rasa nyaman. Sesaat? Mungkin saja.

Di balik letup-letup hasrat tak terdefinisi dan menjadi bahan bakar tambahan untuk hidup lebih semangat, euforia tersebut menyimpan kekhawatiran yang sangat. Gundah yang selalu ia pikirkan agar tidak diketahui Hesty.

Perasaan aneh muncul. Keadaan ganjil yang belum pernah dialami Salim, kecuali pada kehadiran cinta pertama pada seorang gadis yang menjadi istrinya.

Salim dan Hesty belum dikaruniai momongan, meski itu tidak dapat disebut terlalu terlambat. Barangkali saatnya belum tiba dan mereka tidak pernah mengkhawatirkannya. Belum terlalu menggelisahkan kehidupan harmonis mereka.

Istrinya adalah wanita rumah tangga biasa. Wanita yang berparas bagai mahasiswi tingkat satu atau dua itu mestinya sekarang berada di dapur, sedang menyiapkan hidangan untuk makan malam untuk berdua.

Dengan langkah tegap dan wajah cerah seperti biasa Salim tegas mengucapkan salam, memasuki rumah, menuju dapur, memeluk istrinya dari belakang, dan mengecupnya saat berhadapan. Pasangan mesra. Selalu mesra. Demikian mesra, maka pertengkaran-pertengkaran kecil pun serupa bumbu mi instan nan gurih bagi kehidupan rumah tangga mereka.

Sebuah bayangan berkelebat dalam benak. Salim menarik napas. Sejatinya, tidak terbersit pikiran untuk menutup-nutupi keadaan terkini di depan istri. Tidak ada niatan menyembunyikannya. Namun, keadaan membuatnya harus merahasiakannya.

Pertentangan batin inilah belakangan menyebabkan Salim gelisah. Salim menenangkan hati menjadi lautan teduh, yang sesungguhnya menyimpan badai pembentuk gelombang menghancurkan.

Oleh karena itu, beberapa pekan terakhir tiap-tiap hendak mematikan mesin mobil pada kepulangan dari kantor, ia menenangkan diri agar kegelisahan untuk sementara bersembunyi di dalam perut. Jangan disimpan di dada apalagi di benak. Itu akan mudah terbaca.

"Masak apa, Yang?"

"Chicken teriyaki kesukaanmu. Sayurnya, tumis kailan."

"Aku mandi dulu, ya.

Dua sejoli duduk berhadapan, saling memandang dengan bola-bola mata bintang, dan saling melempar senda gurau selama beberapa waktu. Setelah itu, mereka bekerja sama membereskan meja. Salim merapikan taplak, memasukkan kursi, menyapu lantai. Di dapur, Hesty mencuci peralatan makan.

Perbincangan ringan berlanjut hingga peraduan. Tak lama, lampu ruangan padam berganti dengan cahaya temaram. Bibir dua insan mengembang di bawah selimut, bersama peluh dan lenguh. Lalu, lelap.

Cahaya pagi menembus kaca jendela. Kicau burung menyelusup melalui lubang angin. Salim dan Hesty menyantap nasi goreng oriental dengan telur ceplok, irisan mentimun dan tomat, serta kerupuk udang.

"Bawa bekal?"

"Tidak, Sayang. Nanti siang aku makan di luar bersama klien."

Belakangan suaminya berangkat tidak membawa bekal. Alasan suaminya, selain bersantap bersama klien, ada pertemuan kantor yang tentu saja menyediakan hidangan makan siang. Sayang betul jika bekal tidak termakan, satu ketika suaminya berkata demikian.

Sebelum menutup pintu, Hesty menatap sedan kecil yang dipesan melalui telepon genggam maju perlahan. Bergerak kian cepat, menjauh, dan menghilang dari pandangan. Pria berbadan bak peragawan itu berangkat kantor tidak menyetir sendiri.

Jangan-jangan ..., ah tidak, ditepisnya pikiran buruk itu dari pikirannya.

Wanita berkaki jenjang dengan rambut sebahu melangkah ke meja. Menarik Kursi. Duduk lalu menarik bidang layar komputer kecil. Papan kunci terhampar. Jari lentiknya menekan satu tombol.

Jari-jarinya lancar mengetuk kata-demi kata membentuk rangkaian kalimat, yang mengonstruksi pembukaan sebuah cerpen. Hesty adalah seorang penulis. Bukan penggubah cerita panjang kait mengait membentuk buku. Bukan pula pujangga terkenal di seantero negeri. Bukan.

Wanita dengan pendidikan tinggi itu menyalurkan kesukaannya dalam menumpahkan gagasan mewujud karya fiksi, atau esai membabarkan pengalaman dan pengamatan. Memublikasikan karya-karyanya melalui sebuah platform blog keroyokan. Dari sana pulalah ia bersua dengan jaringan sesama penulis.

Pertemanannya menjangkau beragam wilayah, maka hari-harinya tidak pernah sepi. Pikiran yang riuh dengan gagasan-gagasan, membuatnya tidak sempat berpikir tidak-tidak, yang dapat menjerembapkan ke jurang kesepian. Atau, prasangka buruk yang sempat mampir di pikiran belakangan ini.

Hesty tidak pernah menyangka dan tidak akan mengetahui bahwa pada siang itu Salim sendirian makan di amigos. Bukan satu jenama kafe terkemuka, melainkan tempat sederhana yang terletak di tepi sebuah saluran air. Warung agak minggir got sedikit!

Usai menyisakan tulang paha ayam bakar, Salim berjalan menuju seberang warung. Matanya memandang punggung sosok bercelana jin dengan blus tunik warna merah muda. Rambut panjangnya tergerai-gerai ketika berlari kecil menuju rumah, yang di halamannya terdapat beragam sepeda motor. Agaknya ia baru pulang kuliah. Wajah menawannya tampak lelah.

Salim mendekat. Berjalan lebih dekat dan memandang kagum keindahan di hadapannya. Boleh disebut harta karun. Mengingat saat pertama kali menjumpai, ia barang teronggok sekian lama.

Perawatan cermat penuh perhatian hingga ihwal paling detail, pesona tersembunyinya dibangkitkan. Kini, kekayaan tersimpan itu seolah lahir kembali. Indah. Makin dipandang, makin cemerlang yang memunculkan sensasi aneh. Degup-degup. Denyut-denyut di perut itu kadang membuatnya gugup.

"Baik, nanti pulang aku ke sini lagi. Ini kekurangannya dan pembeli dua helm," Salim menyerahkan segepok uang.

***

Senja belum sepenuhnya memeluk malam. Kapas-kapas masih berlarian di langit. Cerah ceria. Senja merah jambu.

Perasaan meletup-letup. Rasa senang mencuat-cuat menembus dada. Angin meniup telinga dan menabrak dada bidang. Sambil menikmati sore berseri, pria bahagia merakit kata-kata akan diucapkan kepada istrinya istrinya.

Salim mengucap salam, masuk langsung ke dapur, memeluk Hesti, dan mengecupnya.

"Yang, boleh aku memperkenalkan..., maksudku, memperlihatkan sesuatu?"

Tak sempat melepas celemek, wanita setia mengikuti suaminya ke depan. Pemandangan menggetarkan berdiri cantik di carport.

"Ini..., ini.... Aku tidak percaya. Bagaimana kamu...?" Hesty menghambur. Menyentuh. Mengusap. Memegang setang. Dan, ia meragukan pemandangan di depannya.

Setelah terbengkalai sekian lama di rumah orang tuanya, kini ia terlahir sebagai barang cantik. Sangat cantik pada senja merah jambu. Sore cerah yang indah. Motor bebek yang pernah menjadi kesayangannya kini berwarna merah jambu, warna kesukaannya.

"Bagaimana caranya...?"

Salim menempelkan telunjuk di bibir mungil Hesty, "Panjang ceritanya."

***

Biodata: 
Bukan cerpenis. 
Bukan sastrawan. 
Cuma tukang tulis 
di bawah pohon manggis 
tepi sebuah jalan Kota Bogor.

Foto diri (dokumen pribadi)
Foto diri (dokumen pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun