Hesty tidak pernah menyangka dan tidak akan mengetahui bahwa pada siang itu Salim sendirian makan di amigos. Bukan satu jenama kafe terkemuka, melainkan tempat sederhana yang terletak di tepi sebuah saluran air. Warung agak minggir got sedikit!
Usai menyisakan tulang paha ayam bakar, Salim berjalan menuju seberang warung. Matanya memandang punggung sosok bercelana jin dengan blus tunik warna merah muda. Rambut panjangnya tergerai-gerai ketika berlari kecil menuju rumah, yang di halamannya terdapat beragam sepeda motor. Agaknya ia baru pulang kuliah. Wajah menawannya tampak lelah.
Salim mendekat. Berjalan lebih dekat dan memandang kagum keindahan di hadapannya. Boleh disebut harta karun. Mengingat saat pertama kali menjumpai, ia barang teronggok sekian lama.
Perawatan cermat penuh perhatian hingga ihwal paling detail, pesona tersembunyinya dibangkitkan. Kini, kekayaan tersimpan itu seolah lahir kembali. Indah. Makin dipandang, makin cemerlang yang memunculkan sensasi aneh. Degup-degup. Denyut-denyut di perut itu kadang membuatnya gugup.
"Baik, nanti pulang aku ke sini lagi. Ini kekurangannya dan pembeli dua helm," Salim menyerahkan segepok uang.
***
Senja belum sepenuhnya memeluk malam. Kapas-kapas masih berlarian di langit. Cerah ceria. Senja merah jambu.
Perasaan meletup-letup. Rasa senang mencuat-cuat menembus dada. Angin meniup telinga dan menabrak dada bidang. Sambil menikmati sore berseri, pria bahagia merakit kata-kata akan diucapkan kepada istrinya istrinya.
Salim mengucap salam, masuk langsung ke dapur, memeluk Hesti, dan mengecupnya.
"Yang, boleh aku memperkenalkan..., maksudku, memperlihatkan sesuatu?"
Tak sempat melepas celemek, wanita setia mengikuti suaminya ke depan. Pemandangan menggetarkan berdiri cantik di carport.